Jumat, 08 Januari 2010

PHK & OUTSOURCING PRODUK PEMIKIRAN SESAT

PHK MASAL (Lay off), OUTSOURCING PRODUK PEMIKIRAN SESAT

Akhir tahun kemarin saya mengunjungi teman saya yang menjadi CEO sebuah perusahaan degan pendapatan lebih dari Rp.400.Milyar pertahun, karena kunjungan saya mendadak, ternyata beliau sedang menghadiri presentasi program kerja dari Divisi SDMnya untuk tahun 2010.
Divisi SDM tersebut menetapkan tema “Efisiensi dan Efektivitas Dalam Pengelolaan SDM”. Sebuah tema yang sudah mendapat persetujuan mutlak dari BOD. Karena kami cukup akrab dan sudah mengenal juga jajaran Direksinya, saya diajak mendengarkan paparan presentasi yang dibawakan oleh GM HR, daripada saya harus menunggu sendirian di ruang CEO.
Sang GM masih muda umur sekitar 38 tahun, Master dari luar negeri. Presentasinya mempergunakan bahasa “campur aduk”. Presentasi dihadiri oleh para GM dari divisi lainnya dan para manager dari berbagai departemennya. Mungkin karena di luar negeri lebih dari 6 tahun bahasa ibunya sudah “kurang dikuasai” atau mungkin ada “maksud lain” sehingga bahasanya campur aduk.
Materi presentasinya”di atas kertas” bagus, hanya saja yang saya agak terkejut adalah ketika beliau menitik beratkan efisiensi pada pemangkasan jumlah tenaga kerja dan penggunaan tenaga kerja secara “outsourcing”. Saya hanya merasa bahwa sang GM HR karena sudah lama di luar dan mungkin cara berpikirnya berorientasi pada kapitalisme, rasa empati terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sangat tipis sekali. Efisiensi melalui pemangkasan jumlah tenaga kerja memang cepat terlihat hasilnya sehingga menjadi jalan pintas bagi praktisi SDM yang ingin kinerjanya terlihat bagus dalam waktu singkat dan tidak sabar melalui sebuah proses dalam pengembangan SDM. Demikian juga outsourcing.
Ketika sang GM sedang presentasi saya tertarik dengan sebuah “buku/berkas” yang ada di depan CEO, kemudian saya minta ijin untuk membacanya, ternyata buku/berkas tersebut merupakan hasil penelitian/survei mengenai posisi perusahaan di pasar, besaran pangsa pasar dan bagian pasar perusahaan tersebut oleh lembaga penelitian yang sangat terkenal di Indonesia ini.
Dari hasil penelitian tersebut posisi perusahaan ada pada urutan ke 5, dengan bagian pasar sekitar 22%, dan masih sekitar 35% bagian pasar yang dapat diperebutkan oleh perusahaan untuk meningkatkan bagian pasar dan memperbaiki posisinya. Kemudian saya baca analisis keuangannya, ternyata perusahaan tersebut masuk kategori sangat sehat karena kemampuannya membayar kewajiban di atas 200%, artinya peluang investasi untuk memperebutkan “kue” sebesar 35% masih sangat terbuka.
Data tersebutlah yang meperkuat keterkejutan saya dengan materi presentasi sang GM HR. Mungkin saya termasuk praktisi SDM yang konvensional yang selalu menempatkan program efisiensi dan outsourcing sebagai pilihan terakhir ketika perusahaan akan menerapkan program efisiensi dan efektivitas. Itulah sebabnya beberapa pemilik perusahaan pernah mengatakan bahwa orientasi saya dalam mengelola perusahaan terlalu berorientasi pada manusia dan kurang berorientasi pada bisnis. Namun demikian ternyata mereka selalu menyetujui program-program pemberdayaan SDM dan CSR yang saya ajukan, bahkan tidak satu senpun anggaran yang saya ajukan dikurangi, karena data-data membuktikan bahwa setiap tahun produktivitas kerja karyawan meningkat..
Termasuk persetujuan mereka atas usul saya untuk meniadakan system outsourcing di cabang-cabang perusahaan, dengan jaminan bahwa SDM yang berstatus karyawan tetap akan lebih produktif dan tidak akan memberatkan perusahaan jangka panjang jika dikelola dengan strategi yang benar. Ketika dalam acara “Pro Kontra Sistem Outsourcing” di beberapa tahun yang lalu, saya sebagai penyanggah dan diposisikan sebagai pihak yang Kontra terhadap system outsourcing, saya mengatakan saya tidak anti system ini, tetapi dalam kondisi kehidupan bangsa seperti ini apakah kita tega melaksanakan system ini? Bukankah masih banyak system pengelolaan SDM yang tidak kalah efektif, jika kita mau mengeksplorasi kemampuan berpikir kita?
Saya menceritakan ini adalah dengan tujuan mengajak seluruh praktisi SDM untuk tetap mengasah empati dan nurani kita dalam mengelola SDM, mengingat keterpurukan bangsa yang semakin parah. Para praktisi SDM memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengangkat kehidupan pekerja ke arah yang lebih baik di samping meningkatkan tingkat kemampulabaan perusahaan.

Salam,
HRS

KUALITAS PEMIMPIN YANG DIBESARKAN DENGAN UANG HALAL

UMAR BIN ABDUL AZIS
Ketika menjadi Khalifah tidak ada rakyatnya yang miskin

Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA adalah pemimpin yang menjauhkan diri dari sikap kemewahan, selalu menjalankan hidup dengan sangat sederhana meskipun beliau mampu hidup bermewah-mewah dan selalu memberikan suri teladan pada seluruh rakyatnya. Itulah sebabnya beliau sangat dihormati, disegani dan dicintai oleh rakyatnya.
Suatu ketika sebagai pemimpin yang sangat dekat dengan kehidupan rakyatnya, beliau keliling desa untuk melihat kehidupan rakyatnya secara langsung. Kemudian beliau berhenti sejenak di sebuah rumah sederhana di mana beliau mendengar perdebatan kecil antara seorang ibu dengan putrinya.
Terdengar di telinga beliau, ibu tersebut berkata pada anaknya: “Anakku, tambahkanlah air pada susu yang akan kita jual ini”
Putrinya menjawab: “ Wahai Ibu, saya tidak mungkin melakukannya, karena hal ini dilarang oleh Khalifah Umar.”
Ibunya kembali berkata: “ Anakku, Khalifah Umar tidak melihat apa yang kita lakukan”
Putrinya kembali menjawab: “ Ibunda tersayang, meskipun Khalifah Umar tidak melihat, namun Tuhannya Umar (Allah) sedang melihat kita.”
Sang ibu tertegun mendengar jawaban anaknya, akhirnya perbuatan buruk tersebut tidak jadi dilakukan.
Khalifah Umar yang ikut mendengarkan tidak kalah tertegunnya, beliau merasa kagum dengan kepribadian dan akhlak mulia dari gadis tersebut. Kemudian ketika beliau pulang dan sampai di rumah diceritakannya kejadian tersebut pada istri dan anak-anaknya. Kemudian beliau menawarkan gadis tersebut pada salah satu putranya untuk dinikahi. Hasil dari pernikahan tersebut adalah lahirnya seorang anak dengan tingkat kecerdasan luar biasa, lagi sholeh, kemudian menjadi pemimpin umat dan pembaharu yang tiada tandingnya yaitu Umar bin Abdul Azis Rahimahullah.
Orang lain mungkin tidak melihat keburukan yang kita lakukan, tetapi Allah penguasan langit dan bumi pasti melihatnya. Allah telah menyimpan tulisan naskah kehidupan kita yang kelak akan diperlihatkan kepada kita di yaumil akhir, tanpa sensor sedikitpun. Tidakkah kita malu ketika segala keburukan-keburukan yang kita lakukan semasa hidup mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar di dunia kepada seluruh makhluk-Nya?
Ternyata orang yang selama ini dikenal baik telah melakukan perbuatan buruk dan tercela seperti korupsi (mencuri), menipu, perdukunan (musyrik), perselingkuhan/zina, perjudian (togel) dan perbuatan-perbuatan kafir lainnya. Dengan sengaja mereka menyembunyikannya, padahal tidak ada sesuatupun yang luput dari Allah atas apa yang mereka kerjakan.

Allah SWT berfirman: ” Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah. Padahal, Allah beserta mereka, ketika suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-NYA) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS 4:108)

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: “ Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi maupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS 10: 61)

Karena itu, berhati-hatilah dalam meniti kehidupan ini. Setiap kali kita bertutur kata, berusahalah untuk jujur. Setiap kali kita berjalan, berusahalah untuk selalu melangkah dalam kebaikan. Setiap kali tangan kita digerakkan, berusahalah agar tangan ini kelak tidak menjadi saksi atas keburukan yang pernah kita lakukan. (HRS)

MUSLIM ITU HARUS JUJUR

Dari Rasulullah saw, “Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran adalah salah satu pintu surga” .


Dari Imam Ali AS., “Orang yang jujur adalah orang yang mulia dan terhormat. Seorang pembohong adalah orang yang lemah dan hina” .


Dari Rasullah saw, “Kebohongan adalah salah satu pintu kemunafikan” .Ketika Nabi ditanya, apa sajakah perbuatan orang ahli surga itu? Nabi Menjawab: “Kejujuran. Bila hamba jujur berarti ia akan melakukan kebaikan. Bila ia melakukan kebaikan maka ia akan beriman. Dan bila ia beriman niscaya ia akan masuk surga ".


Kemudian beliau ditanya kembali, ‘Wahai Rasulullah lalu apa sajakah perbuatan ahli neraka itu? Nabi menjawab: “Kebohongan. Bila seorang hamba melakukan kebohongan maka ia termasuk orang yang FASIK. Dan bila kefasikannya dilanjutkan ia akan menjadi orang KAFIR. Dan bila ia kafir niscaya masuk NERAKA” .


Salah satu perilaku Nabi yang dijaga dengan ketat oleh beliau hingga akhir hayatnya adalah kejujuran. Sebelum menjadi Nabi oleh kaum musyrikin Mekah beliau disebut sebagai Al-AMIN. Orang yang tepercaya. Tidak ada satu pun dari orang Mekah yang mengingkari akan kejujuran Nabi. Ketika berdagang pun orang selain Mekah mengenal kejujurannya. Bahkan musuh-musuhnyapun kerap kali menitipkan barang berharga dan dagangannya pada beliau.
Kejujuran yang dimiliki oleh beliau tidak diperoleh begitu saja. Sama dengan keutamaan lainnya diperoleh dengan berlatih secara intensif. Pada awalnya beliau melatih dirinya untuk jujur terhadap dirinya sendiri. Ia selalu berlaku jujur baik dengan keluarga, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Menurut beliau, bangunan keagamaan harus berdiri di atas kejujuran

Dalam kehidupan sehari-hari, di keluarga, di tempat kerja, di masyarakat, seringkali kita bersikap tidak jujur dan senang berbohong. Bahkan kita bangga menjadi pembohong hanya karena bualan kita membuat orang lain tertawa dan kagum. Kita juga bangga ketika mengenakan baju bagus, makan enak, naik kendaraan, padahal semua dihasilkan dari hasil ketidak jujuran seperti hasil korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), memfitnah orang lain, menipu, mencuri dsb.

Sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW, sudah selayaknya jika kita berusaha meneladani kejujuran beliau. Melatih diri setiap hari dengan mengurangi kebohongan-kebohongan yang sering kita lakukan baik ketika bercanda, atau sekedar ngobrol dengan keluarga, teman kerja maupun tetangga.

Dengan bersikap jujur dan tidak pernah berbohong merupakan salah satu cara kita menyembah Allah SWT, memuliakan Nabi besar Muhamad SAW dan mensyiarkan Islam. Islam akan tetap besar, memasuki era Keemasan dan tetap harum jika penganutnya jujur dan dapat dipercaya. Sebaliknya Islam akan menjadi busuk ketika penganutnya kehilangan kejujuran dan senang berbohong.


Dengan demikian ada 2 pilihan dalam hidup kita: Apakah kita akan menjadi bagian dari orang-orang kafir dan musyrik yang selalu berusaha membusukkan Islam atau sebaliknya membangun peradaban Islam memasuki masa kejayaan dan keemasan kembali. Pilihannya sederhana menjadi orang JUJUR (Islam) atau PEMBOHONG (Kafir). Semoga kita tidak salah memilih. (HRS)

JABATAN TINGGI, EQ RENDAH

TIDAK semua mereka yang memiliki jabatan dan titel kesarjanaan tinggi memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Istilah kecerdasan emosional adakalanya disebut EI (emotional intelligence), EQ (emotional quotient), dan kecerdasan sosial.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi.

Ketika membaca berita mengenai kekisruhan dalam rapat antara DPR dan Kejaksaan Agung belum lama ini, pikiran saya terdorong mengingat kembali teori Daniel Goleman seputar EQ untuk menganalisa perilaku pejabat tinggi dan politisi di pentas publik. Berdasar riset panjang, Goleman menyimpulkan, kecerdasan intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang, terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Menurut Goleman, banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah selalu menjadi bintang kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman sekelasnya yang prestasi akademiknya pas-pasan.

Lalu, apa kunci keberhasilan hidup?
Menurut dia, lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu aspek-aspek yang berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat unsur pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi dirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Ketiga, senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya merasa terancam. Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung.
Untuk mengukur apakah seorang pimpinan memiliki kecerdasan emosional tinggi, jangan diukur dengan titel kesarjanaan dan kepangkatannya, tetapi tanyakan pada mereka yang selalu berhubungan dengannya, entah itu sopir, satpam, pembantu rumah tangga, anak buah, keluarga, maupun teman. Dari merekalah akan terpantul citra kepribadian seorang pemimpin, terutama di saat-saat seseorang terkondisikan untuk marah.

Seberapa tinggi EQ seseorang mudah terlihat saat kritis, ketika suasananya tidak menguntungkan, bahkan dalam posisi terancam. Dengan tolok ukur ini kita mendapat kesan banyak pejabat tinggi yang EQ-nya rendah meski titel akademisnya tinggi, termasuk dalam penguasaan ilmu agama. Cirinya, pertama, jika bicara cenderung menyakiti dan menyalahkan pihak lain sehingga persoalan pokok tergeser oleh pertengkaran ego pribadi. Yang terjadi kemudian persoalan tidak selesai, bahkan bertambah.

Kedua, rendahnya motivasi kinerja anak buah untuk meraih prestasi karena tidak mendapat dorongan dan apresiasi dari atasan. Pimpinan dengan EQ tinggi akan mampu memotivasi diri, lalu beresonansi pada orang-orang di sekelilingnya, terutama anak buahnya. Berdasarkan pengalaman memberi pelatihan di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun BUMN, ditemukan indikator kuat, hanya sedikit pemimpin yang mampu memberi motivasi kerja pada anak buahnya. Banyak pemimpin menjadi sasaran caci maki anak buah sehingga potensi dan dedikasi anak buah tidak optimal untuk memajukan perusahaan.

BEGITU rendahnya EQ sebagian pejabat tinggi kita, tidak mengherankan jika produktivitas rendah, bahkan banyak terjadi kebocoran anggaran. Menjelang akhir tahun, yang menjadi agenda utama adalah bagaimana menghabiskan anggaran dan membuat laporan keuangan agar tampak mulus meski hasil kinerjanya minus. Situasi ini dipertegas hasil penelitian TII yang menyatakan perilaku korupsi birokrasi dan bisnis di Jakarta sudah amat parah. Orang bukannya dipacu untuk meraih prestasi kerja, tetapi dibuat pusing dan sibuk mengenal serta memberi servis pada orang-orang yang dekat dengan pengambil keputusan.

Banyak mahasiswa dan sarjana terkesan idealis saat di kampus, tetapi terhanyut begitu menjadi birokrat. Rasanya perlu dipikirkan adanya pekan orientasi sarjana sebelum wisuda. Isinya, memberi peringatan disertai data akurat bahwa setelah wisuda mereka akan memasuki dunia baru yang penuh ranjau dan lingkungan kerja serta sosial yang telah terkontaminasi virus korupsi dan manipulasi. Ini merupakan tugas akhir almamater, memberi peringatan dan tanggung jawab moral pada putra-putrinya agar memiliki komitmen untuk hidup terhormat, mengejar karier dengan panduan skill dan suara hati.

PARA psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, dan spiritual.
Kecerdasan intelektual (IQ) berkait dengan keterampilan seseorang menghadapi persoalan teknikal dan intelektual. Jika pendidikan kita mengabaikan aspek keunggulan IQ, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dalam bidang sains dan teknologi pada persaingan global.
Kini kita sudah merasakan betapa tertinggalnya kita dalam pendidikan sains. Pemerintah pun kurang melakukan penjaringan siswa berbakat untuk difasilitasi agar nanti menjadi ilmuwan tangguh.

EQ yang tinggi akan membantu seseorang dalam membangun relasi sosial dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis, maupun sosial. Bagi seorang manajer, kecerdasan emosional merupakan syarat mutlak. Lagi-lagi amat disayangkan, pendidikan kita miskin konsep dalam membantu mengembangkan EQ, bagi siswa maupun mahasiswa. Pelatihan EQ ini amat penting guna menumbuhkan iklim dialogis, demokratis, dan partisipatif karena semua menuntut adanya kedewasaan emosional dalam memahami dan menerima perbedaan. Pluralitas etnis, agama, dan budaya akan menjadi sumber konflik laten jika tidak disertai tumbuhnya budaya dialogis dan sikap empati.

Tidak kalah penting, kecerdasan spiritual (SQ) yang berkait dengan masalah makna, motivasi, dan tujuan hidup sendiri. Jika IQ berperan memberi solusi intelektual-teknikal, EQ meratakan jalan membangun relasi sosial, SQ mempertanyakan apakah makna, tujuan, dan filsafat hidup seseorang.
Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, penulis buku SQ, The Ultimate Intelligence, tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (IQ) dan popularitas (EQ) seseorang tidak akan memberi ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai pakar psikologi dan manajemen di Barat mulai menyadari betapa vitalnya aspek spiritualitas dalam karier seseorang, meski dalam menyampaikannya terkesan hati-hati. Yang fenomenal, tak kurang dari Stephen R Covey meluncurkan buku The 8th Habit (2004), padahal selama ini dia sudah menjadi ikon dari teori manajemen kelas dunia The Seven Habits. Rupanya Covey sampai pada kesimpulan, kecerdasan intelektualitas dan emosionalitas tanpa bersumber spiritualitas akan kehabisan energi dan berbelok arah.

Di Indonesia, krisis kepercayaan terhadap intelektualitas kian menguat saat bangsa yang secara ekonomi amat kaya ini dikenal sebagai sarang koruptor dan miskin, padahal hampir semua yang menjadi menteri maupun birokrat memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Asumsi bahwa kesarjanaan dan intelektualitas akan mengantar masyarakat yang damai dan bermoral digugat Donald B Caine dalam buku: Batas Nalar, Rasionalitas dan Perilaku Manusia yang sedang dibicarakan banyak orang. Mengapa bangsa Jerman yang dikenal paling maju pendidikannya dan melahirkan banyak pemikir kelas dunia pernah dan bisa berbuat amat kejam? Pertanyaan serupa bisa dialamatkan kepada Inggris, Amerika Serikat, dan Israel

KEMBALI pada soal EQ. Teori ini valid untuk melihat perilaku dan gaya kepemimpinan seseorang dalam kelompok terbatas. Dalam wilayah sosial dan politik, terlalu banyak variabel yang tidak cukup dianalisis dengan teori EQ.

Namun satu hal pasti, kita mengharapkan negeri ini diurus oleh mereka yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Yaitu mereka yang kualitas akademisnya baik, mampu berkomunikasi sosial secara simpatik, inspiring dan motivating, serta memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai spiritual sebagai panduan hidup. Jika ketiga kualitas ini tidak terpenuhi, sebaiknya minggir saja atau bangsa ini akan kian hancur oleh perilaku pemimpinnya sendiri.* (Komarudin Hidayat)

HIDUP SUSAH KOK DISURUH BERIBADAH

“HIDUP MASIH SUSAH KOK DISURUH BERIBADAH”


Orang yang tidak pernah memuji Allah SWT atas nikmat air dingin dan oksigen yang bersih dan segar itu maka ia akan lupa pada-NYA, apalagi jika ia mendapatkan rumah dan mobil yang mewah serta makanan yang melimpah.
Orang yang tidak pernah bersyukur atas nasi dengan tempe dan tahu yang hangat, tidak akan pernah mampu mensyukuri hidangan yang lezat dan menu yang nikmat. Orang yang tidak pernah bersyukur dan bahkan kufur, maka tidak akan pernah bisa membedakan antara yang sedikit dan banyak. Tetapi ironisnya, tidak jarang orang-orang seperti itu yang pernah berjanji pada Allah, bahwa ketika nanti Allah menurunkan nikmat kepadanya dan menaburkan nikmat-nikmat-NYA, maka mereka akan bersyukur, memberi dan bersedekah serta beribadah dengan rajin.
Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah:


“Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-NYA kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-NYA, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan memanglah orang-orang yang selalu membelakangi kebenaran “. (QS`At-Taubah:75-76)


Di sekitar kita saat ini banyak manusia seperti ini. Hatinya hampa, pikirannya kotor, perasaannya kosong, tuduhan pada Rabb-nya selalu tidak senonoh, yang tidak pernah memberi rezeki yang besarlah, tidak pernah memberi kenikmatan hiduplah, hidup menderita terus dsb. Dia mengucapkan itu ketika tubuhnya sehat dan memiliki makanan–minuman yang cukup. Dalam kemudahan seperti itu saja dia sudah tidak bersyukur. Lalu bagaimana jika hartanya melimpah, rumahnya besar dan mewah, setiap hari mengendarai mobil, keluar masuk restoran besar, berkumpul dengan wanita-wanita yang mudah diajak berzina, sehingga semua aktivitas itu akan menyita waktunya?. Pasti dia lebih kurang ajar dan akan lebih banyak durhaka kepada Allah.
Orang yang bertelanjang kaki, karena tidak punya alas kaki mengatakan: “ Saya akan bersyukur jika Rabb-ku memberiku sepatu.” Tetapi orang yang telah memiliki sepatu akan menangguhkan rasa syukurnya sampai ia mendapatkan mobil. Kurang ajar sekali, kita mengambil kenikmatan itu dengan kontan, namun mensyukurinya dengan mencicil atau mengangsurnya.
Kita tak pernah bosan meyampaikan permintaan kepada Allah, tetapi perintah Allah yang ada di sekeliling kita lamban sekali dilaksanakan. Makanya kita tidak perlu heran kalau melihat Masjid khususnya pada saat sholat Shubuh dan Isya hanya dihadiri oleh jamaah dengan tingkat ekonomi terbatas dan berusia sepuh, karena hal ini sudah dinyatakan dalam Al-Quran Surah At-Taubah tersebut di atas. Paling tidak melalui fenomena ini kita dapat membuktikan kebenaran Al-Quran yang diturunkan di benua Arab 14 abad yang lalu cocok sekali dengan kejadian dan kondisi yang ada di sekitar kita. “Subhaanallaah
” (hrs)