Kamis, 18 Agustus 2016

Menikmati Kemerdekaan

Baru kemarin kita memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71 tahun yang sudah melebihi umur umat Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam yang antara 60 sampai 70 tahun. Namun apa daya kalau kita renungkan wejangan pendiri negara ini (Ir. Soekarno):
  1. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!”
  2.   "Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia."
  3.  "Jikalau ingin menjadi satu bangsa yang besar, ingin menjadi bangsa yang mempunyai kehendak untuk bekerja, perlu pula mempunyai “imagination!”... Kita yang dahulu bisa menciptakan candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan, terbuat dari batu yang sampai sekarang belum hancur; kini kita telah menjadi satu bangsa yang kecil jiwanya, saudara-saudara!"
  4.   "Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam."
  5.  "Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya."
  6.   "Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."
Generasi bangsa ini belum menghayati apa kata Bung Karno, daya saing bangsa kita masih belum memadai. Tapi apa itu salah mereka, Tidak kataku!!!. Kenapa???
Setelah Bung Karno di kudeta, negeri ini memiliki beberapa Kepala Negara yang kurang dalam menggembleng dan mencerdaskan bangsa. Poltik kekuasaan menjadi semua prioritas para kepala negara, sehingga sistem pendidikan terabaikan. Para Kepala Negara lebih banyak mementingkan kepentingan kelompok dan keluarganya saja. Kelompok dan keluarga para kepala negara menjadi sangat kaya raya, sementara rakyat masih banyak yang berada dalam kondisi kemiskinan yang akut. Para pemegang kekuasaan tidak peduli dengan biaya pendidikan yang semakin tinggi yang tidak mungkin terjangkau masyarakat miskin. Pemerintah tidak peduli ketika sebagian rakyat tidak mampu mengenyam pendidikan karena mahal. Mereka sibuk mengatur strategi mempertahankan kekuasaan. Para pemegang kekuasaan bahkan tidak peduli ketika bangsa lain yang menjadi tetangga kita melesat dengan program mencerdaskan bangsanya dengan menganggarkan sebagian besar belanja negara untuk menyelenggarakan pendidikan, para pemegang kekuasaan malah sibuk memperkuat kroninya dengan membagi kekuasaan agar para kroni dapat menikmati kekayaan tanah air ini meskipun dengan cara yang licik. Dengan demikian maka sebagian rakyat tetap tidak mampu menikmati pendidikan dengan layak. Akibat tidak mengenyam pendidikan dengan layak tersebut, maka mereka tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam menghadapi persaingan.
Sebagian besar penduduk asli Indonesia tetap menjadi kuli di negeri sendiri, mereka hanya mampu memperoleh upah 2 ½ sen sehari karena keterbatasan kompetensi. Tujuh puluh satu tahun merdeka sudah tetapi kemerdekaan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang justru nenek moyangnya tidak berjuang demi kemerdekaan negara dan bangsa ini. Segelintir orang ini menjarah kekayaan negara dengan cara apa saja, merusak lingkungan, menggali emas, timah, batu bara, membakar hutan dan cara-cara lainnya. Mereka bebas melakukan itu semua karena mendapat fasilitas dan perlindungan dari beberapa elit negara. Bahkan mereka bebas merusak generasi muda dengan memperdagangkan narkoba dan barang haram lainnya karena mendapat fasilitas dan perlindungan alat negara, yang seharusnya membasmi mereka. Pejabat yang bersih mereka gilas habis, bahkan keturunannya sekalian. Pemerintah juga memberikan perlindungan bagi negara lain untuk mengirimkan tenaga kerjanya secara mudah. Karena mereka bangsa asing meskipun dengan keterampilan terbatas, mereka tetap menjadi raja di negeri ini, mereka mendapat fasilitas layaknya raja-raja kecil dengan upah besar. Sementara pribumi tetap dengan posisi kuli dan upah 2 ½ sen sehari. 
Apakah penguasa merasa bersalah dengan kondisi bangsa seperti ini, jawabannya dipastikan TIDAK!!! karena perhatian mereka terhadap sistem pendidikan sangat kurang. Menteri pendidikan dianggap tidak penting, bahkan konyolnya setiap menteri baru membuat kurikulum baru, peserta didikhanya dijadikan kelinci percobaan. Bahkan jabatan ini diberikan pada orang yang tidak tepat dengan pertimbangan pembagian kekuasaan, bukan demia kepentingan bangsa. Akhirnya pesan para pendiri bangsa diabaikan oleh para pemegang kekuasaan, dan para pendiri negara hanya bisa menyaksikan kekayaan tanah air yang dijarah oleh mereka yang dulu nenek moyang ada yang mengkhianati mereka. Mereka tinggal tulang belulang yang berserakan kata Khairil Anwar, sehingga tidak mampu lagi menghentikan tindakan para penguasa dan kroninya tersebut, meskipun mereka dulu mampu mengusir para penjajah dari negeri ini. Para mantan penguasa hidup makmur karena menyalahgunakan kekuasaan, mengkhianati amanah, negeri tambah rusak, hutan dibakar dan mereka tersenyum karena sudah menumpuk kekayaan yang tidak akan habis sampai tujuh turunan. Dan wejangan Ir Soekarno tinggal wejangan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh generasi bangsa, karena tidak diberi kesempatan oleh para penguasa yang telah memimpin negeri ini selama 71 tahun.{***}