Senin, 08 April 2013

Warga Jogya Dukung Kopassus



Warga Yogya Aksi Tolak Preman, Kumpulkan Koin untuk Anggota Kopassus
Edzan Raharjo - detikNews

Yogyakarta - Hujan deras yang mengguyur Yogyakarta tidak menyurutkan semangat warga yang beraksi menolak premanisme. Aksi mendukung pemberantasan premanisme ini digelar ratusan warga dari berbagai elemen di perempatan Tugu Yogyakarta, Minggu (7/4/2013).

Warga melakukan orasi, mengumpulkan koin untuk anggota Kopassus Serka Heru Santosa dan Sertu Sriyono, dan doa untuk Serka Heru Santosa yang meninggal menjadi korban premanisme. Koin yang terkumpul nantinya akan diserahkan kepada keluarga korban. Mereka juga menggelar aksi long march dari perempatan Tugu menuju patung Jenderal Sudirman di halaman DPRD DIY.

"Preman harus diberantas di Yogya maupun di seluruh Indonesia. Maraknya premanisme selama ini karena lemahnya penegakan hukum," kata Rendra, saat menyampaikan orasinya.

Aksi ini sebagai sikap warga Yogya yang menginginkan Yogya bebas dari segala bentuk premanisme. Mereka mendukung segala upaya dalam memberantas premanisme karena aksi-aksi premanisme telah meresahkan semua warga.

Koordinator aksi, Hutomo mengatakan, warga berharap hukum ditegakkan sehingga preman tidak berkeliaran bebas. Yogyakarta harus tetap damai adalah tekad semua warga.

"Yogya adalah kota budaya, bukan tempat para preman. Kalau cuma mau jadi preman, jangan ke Yogya,"katanya.

Aksi kemudian dilanjutkan long march ke DPRD DIY di Jl Malioboro dengan membawa foto Sertu Heru Santosa dan membentangkan bendera Merah Putih ukuran besar. Warga juga membentangkan berbagai spanduk yang antara lain bertuliskan,"Rakyat-TNI Bersatu Berantas Preman dan Preman Berkedok Agama," "Terimakasih Kopassus, Yogya Aman Preman Meninggal," "Preman Itu Pengecut Yang Tak Berperasaan," dan lain-lain.

(nrl/nrl)

 
Eks Kepala BIN: Kalau Perlu, 11 Anggota Kopassus Dapat Bintang Mahaputra


Dijatah istri 200ribu/bulan, Aiptu Jailani tetap anti suap


Bintara Polisi ini Karakternya Lebih Mulia dari Jenderal Polisi Djoko Susilo.

MERDEKA.COM. Mendapat jatah uang saku Rp 200 ribu per bulan dari sang istri, Aiptu Jailani, anggota Satlantas Polres Gresik, masih tak tergoda menambah uang sakunya dari hasil 86 alias uang damai. Bagi Polantas 44 tahun itu, aturan tetap harus ditegakkan, agar esok akan lebih baik dari hari ini.

"Semua gaji saya tiap bulan, saya serahkan semuanya ke istri saya. Tiap bulan saya hanya dijatah Rp 200 ribu untuk uang saku sama istri saya," aku Jailani tanpa menyebut nominal gaji yang dia terima tiap bulan kepada merdeka.com, Minggu (31/3) lalu.

Dengan jatah uang saku yang cukup kecil itu, tak melunturkan keimanan Jailani. Dia tidak tergelitik untuk menerima uang damai dari pengendara yang dia tilang karena melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Buktinya, pada tahun 2011 silam, dia pernah menerima ucapan selamat dari Dirlantas Polda Jawa Timur karena kredit poin tertinggi buku tilang, dengan 2400 surat tilang yang dia tandatangani selama satu tahun. Jumlah surat tilang tersebut, semuanya diambil melalui proses sidang di pengadilan. "Saya hanya menjalankan tugas," kata Polantas kelahiran 10 Agustus 1969 silam di Jombang, Jawa Timur tersebut.

Sejumlah pengendara yang pernah mendapat hadiah tilang dari Jailani, cukup beragam. Mulai dari perwira polisi, TNI, pejabat, wartawan, seorang anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan istrinya sendiri tak luput dari surat tilangnya. Tak sedikit dari mereka yang menggoda Jailani dengan sejumlah uang damai, termasuk saat menilang anggota KPK.

"Kalau uang saku saya kurang atau habis, saya minta lagi ke istri saya. Kadang dikasih lagi Rp 100 ribu, kadang Rp 200 ribu, ya nggak mesti. Tergantung kebutuhan bulan itu, kalau kebutuhan rumah tangga agak banyak, istri saya memberi Rp 100 ribu saja. Tapi yang pasti, setiap bulan saya mendapat jatah Rp 200 ribu itu," terang bapak dua anak itu.

Jika dia tidak tergoda dengan uang hasil 86 dari surat tilang yang dia sematkan bagi para pelanggar lalu lintas, lantas bagaimana saat dia bertugas sebagai penguji praktik uji SIM C di kantor Satlantas Jalan Randu Agung, Gresik pada pagi hingga siang hari?

Banyaknya pemohon SIM untuk roda dua itu, yang gugur saat menjalani praktik uji SIM C, dan keluhan dari mereka yang gagal memperoleh SIM, setelah mengikuti tes, menunjukkan kedisiplinan Jailani tentang tugas dan tanggung jawab serta anti suap.

"Saya sudah dua kali ikut test, tapi masih gagal," kata Nurul usai mengikuti test.

Sementara Jailani sendiri mengaku, apa yang dilakukannya itu, bagian dari tanggung jawab dia untuk menegakkan aturan. "Berjalanlah sesuai dengan aturan, maka tidak ada pelanggaran. Apakah dengan surat tilang menjadi efek jera bagi pelanggar? Tidak, apalagi membiasakan diri mereka dengan tilang di tempat. Pelanggaran akan terus terjadi di mana-mana," tegas pria yang telah 23 tahun mengabdikan diri untuk korps baju coklat tersebut.

Pun begitu dengan permohonan SIM baru, kata Jailani, kalau pengemudi bisa dengan mudah mendapatkan SIM, meski tidak begitu lihai berkendara dan tidak mengerti rambu-rambu lalu lintas, tentu akan banyak pelanggaran akan terjadi di jalan raya. "Kedisiplinan dan memahami aturan bagian dari tanggung jawab kita semua. Jika tidak, masyarakat menjadi liar dan tanpa aturan," tandas Jailani. (copy dari Detik,com)

Polisi model begini cocok  jadi Kapolri atau bahkan Presiden, paling tidak jadi penyidik KPK.

Satu Mati Rakyat RI Rugi, Sejuta Preman Mati Rakyat RI Bersuka Hati

Luar Biasa para eksekutor preman di LP Cebongan dengan jiwa ksatria mengakui dan siap bertanggung jawab, demikian pula para komandannya. Hal ini diutarakan oleh Presiden SBY di depan para pimpinan redaksi.  Saya berdoa semoga para eksekutor diampuni dosanya dan keluarganya di berikan kekuatan menghadapi masalah tsb. Namun sebagai warga negara Indonesia, saya ingin mengucapkan terima kasih pada mereka, karena yang namanya preman pastilah meresahkan masyarakat. Belum pernah ada cerita preman itu "bermanfaat".
Lantas kapan para pemimpin negeri ini bisa meneladani sikap kesatria mereka. Lihat saja bagaimana para pemimpin negeri ini dengan bangga mengingkari janji kampanye, tidak mau bertanggung jawab terhadap perilaku korup mereka yang saat ini justru dibudidayakan (udang enak kalau dibudidayakan, kalau perilaku korup, ya rakyat mati kelaparan).
Para prajurit rendahan yang memiliki pola hidup "sangat sederhana"  tsb, memiliki "jiwa yang mewah" karena mereka dengan cepat membasmi "virus penyakit" masyarakat, dan dengan kesatria mereka mengakui perbuatannya yang salah, dan siap mempertanggung-jawabkan.  Bandingkan dengan perilaku Menteri, Pimpinan Parpol, Anggota DPR, Polisi, Jaksa, dan Hakim Yang Korup, mereka yang memiliki pola hidup penuh kemewahan, namun hatinya "busuk dan pengecut" karena mereka tidak berani mengakui dan mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Normalnya para koleganya yang masih jujur, berani mengingatkan perilaku para koruptor tsb. Namun kenyataannya mereka sama-sama penakut.
Heran kenapa para elit dan LSM masih saja mencaci para eksekutor preman bahkan intitusi mereka (Kopassus) juga didiskreditkan. Kenapa para komentator itu tidak berani melawan para koruptor yang sudah terbukti menyengsarakan rakyat kecil, bukankah itu juga pelanggaran HAM yang lebih kronis. Dan para koruptor itu ada di depan hidung mereka masing-masing. Yang lebih memalukan adalah kelakuan Komnas HAM, mereka yang selalu ribut "rebutan" jabatan, gembar-gembor bahwa mereka akan tetap mengusut Kasus LP Cebongan. Harusnya mereka berpihak pada rakyat dan bukan pada preman. Tanyalah kepada masyarakat Jogyakarta, apa tanggapan mereka terhadap pelaksanaan eksekusi para preman tsb?. Lihatlah spanduk-spanduk yang saat ini bertebaran di Jogya, bagaimana masyarakat Jogya bersuka cita terhadap pembasmian preman. Salah satu spanduk yang saya kutip berbunyi "Sejuta Preman Mati, Masyarakat Bersuka Cita"
Nah kalau ingin tidak ada lagi anggota Kopassus yang mengeksekusi para Preman, ya tegakkan saja hukum yang berlaku. Mudah kok, Presiden tinggal memerintahkan Kapolri agar para preman "dibasmi", supaya masyarakat dapat hidup tenang. Presiden juga harus memerintahkan Jaksa Agung dan Menkumham, agar menegakkan hukum dengan baik dan benar. Masalahnya apakah perintah Presiden SBY akan dipatuhi dan dijalankan bawahannya dengan konsisten?
Anggota Kopassus selaku eksekutor memang melanggar hukum, namun mereka BERANI mengakui dan SIAP mempertanggung-jawabkan, sementara apa yang mereka lakukan membuat masyarkat hidup aman dan tenang, jadi apa salahnya mereka.............
Saya simpati pada mereka (anggota Kopassus), dan saya paling benci melihat para koruptor di negeri ini, jelas-jelas melanggar HAM namun justru di puji-puji...... "dasar zaman edan, nek ora edan ora komanan". Hidup Kopassus................