Senin, 01 April 2013

Mencermati Kepemimpinan Jokowi-Ahok

Setelah dilantik sebagai Gubernur dan Wagub, mereka segera menggebrak dengan Gaya Kepemimpinan yang sangat berbeda dengan Gubernur sebelumnya, berbeda pula dengan Gubernur-gubernur daerah lain, bahkan sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan Presiden. Mereka membagi tugas dengan jelas. Jokowi turun ke lapangan sedangkan Ahok melakukan pembenahan internal. Yang paling menarik adalah komitmen mereka untuk tidak melakukan korupsi, dan penerapan manajemen terbuka, sampai-sampai pendapatan mereka dipublikasikan dalam web/blog mereka. Masyarakat Jakarta dengan mudah memantau aktivitas mereka. Gaya kepemimpinan yang sangat berbeda tersebut langsung menjadi "idola" masyarakat daerah lain. Mereka berharap memiliki Kepala daerah seperti Jokowi dan Ahok, bersih dari niat korupsi, penampilan sederhana dan dekat dengan rakyatnya.
Setelah lebih dari 4 bulan memang belum terlihat prestasi mereka dalam menata ibukota. Banyak hambatan yang memperlambat kerja Jokowi-Ahok, namun hambatan utamanya adalah mental para pembantu Jokowi-Ahok yang masih "feodal". Tidak pernah terlihat Walikota & Camat turun ke lapangan, sehingga wilayah-wilayah yang semrawut dan kumuh tidak ada perubahan sama sekali. Demikian pula Polri cq Direktorat Lalu Lintas nampaknya juga enggan menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan Jokowi-Ahok. Lalu lintas tetap semrawut dan dijalanan berlaku "hukum rimba". Pengguna jalan yang patuh terhadap UU Lalu Lintas "kalah" dengan para "Preman Jalanan".
Oleh sebab itu Jokowi-Ahok harus menyadari bahwa bagaimanapun mereka akan bekerja keras namun jika tidak didukung oleh jajaran eselon 2, maka perubahan yang mereka rencanakan tidak akan pernah tercapai.
Skala prioritas haruslah mereka tetapkan, mengurai kemacetan dan banjir tidak mungkin dapat mereka lakukan sendiri. Yang paling mungkin dilakukan adalah penegakan hukum (lalu lintas). Tindak tegas pelanggar-pelanggar lalu lintas, (masalahnya apakah Polri mendukung Jokowi-Ahok?), karena kalau pelanggaran lalu lintas sudah tidak ada atau minimum orang sudah takut untuk melanggar, maka lalu lintas akan lumayan lancar, atau paling tidak masyarakat akan menjadi lebih sabar menunggu antrian. Jika lalu lintas tertib, otomatis masyarakat akan melihat ini adalah efek dari kepemimpinan Jokowi-Ahok.
Kemudian setiap Walikota & Camat diwajibkan membuat Program Perbaikan Wilayah, lengkap dengan Target dan Jadwal, dimana setiap bulan mereka wajib mempresentasikan pencapaiannya. Dengan cara sederhana tsb akan dapat dengan mudah dipantau apakah para Walikota cuma "Tidur" di ruangannya seperti komentar anggota DPRD DKI Jakarta (Boy Sadikin) yang mengomentari kinerja mantan walikota Jakarta Selatan Anas Effendi. Ternyata komentar tsb benar adanya, ketika Anas tertangkap tidur pada saat Gubernur menyampaikan arahan. Kalau di area publik saja mantan Walikota tidur, apalagi kalau dalam ruang kerjanya.
Walikota Jakarta Timur, ketika baru dilantik di perkampungan membuat sebuah pernyataan bombastis bahwa sang walikota akan mendukung secara totalitas seluruh program-program Jokowi-Ahok, namun kenyataannya apa? Jakarta Timur tetap semrawut. Kesemrawutan seperti di Jakarta Timur dapat dipastikan juga masih terjadi di Jakarta Utara, Pusat, Selatan dan Barat.
Gaya kepemimpinan Jokowi-Ahok adalah gaya yang pas untuk DKI Jakarta, namun gaya mereka tidak akan berjalan, jika para pembantunya masih bermental Feodal. Harusnya yang dilelang adalah Jabatan Walikota dan Kepala Dinas, selain jabatan Camat dan Lurah.