JAKARTA, KOMPAS.com
— Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia mengatakan, empat lembaga survei yang memenangkan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tidak memenuhi kaidah statistik.
Alasannya, selisih suara yang dirilis keempat lembaga survei itu tidak
ada yang lebih dari 2 persen atau masih dalam batas margin of error.
Hal itu disampaikan Manajer Riset Puskapol FISIP UI, Dirga Ardiansa, melalui pesan elektronik kepada Kompas.com, Rabu (9/7/2014) malam.
"Hasil quick count lembaga survei tersebut tidak bisa
diambil kesimpulan apa pun dan batal berdasarkan kaidah statistik.
Karena, selisihnya harus lebih dari nilai margin of error-nya yang 1 persen," kata Dirga.
Empat lembaga survei yang dimaksud adalah Pusat Kajian Kebijakan dan
Pembangunan Strategis (Puskaptis), Indonesia Research Center (IRC),
Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI).
Khusus mengenai Puskaptis, Dirga mengatakan, lembaga itu memang
mengeluarkan hasil dengan selisih suara 2 persen.
"Artinya, nilai 52 persen (Prabowo) bisa ada kemungkinan kenyataannya
turun menjadi 50 persen dan nilai 48 persen Jokowi naik menjadi 50
persen. Jika kondisi seperti itu, hasil Puskaptis yang paling mencolok
pun tidak bisa disimpulkan hasilnya berdasar kaidah statistik," ujar
dia.
Dirga mengatakan, hal ini berbeda dengan beberapa lembaga survei yang
memenangkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Beberapa lembaga
survei tersebut, kata dia, menunjukkan selisih lebih dari 2 persen.
"Maka, secara keilmuan statistik bisa diambil kesimpulan hasilnya (oleh tim Jokowi-JK)," kata dia.
"Maka, secara keilmuan statistik bisa diambil kesimpulan hasilnya (oleh tim Jokowi-JK)," kata dia.
Beberapa lembaga yang dimaksud Dirga adalah Litbang Kompas,
Center for Strategic and International Studies (CSIS), Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Lingkaran Survei
Indonesia, dan Radio Republik Indonesia (RRI).
Mengapa berbeda?
Dirga mengatakan, salah satu faktor penentu tingkat presisi sebuah
hitung cepat adalah jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang digunakan
sebagai sampel. Menurut dia, semakin banyak jumlah sampel TPS yang
diambil, semakin presisi prediksi lembaga survei tersebut terhadap hasil
pemilu.
"Tapi hasil mereka bukan berarti tidak bisa meleset dari kenyataannya. Maka, setiap lembaga harus declare berapa tingkat ambang batas kesalahan yang mereka ambil. Ini yang disebut margin of error," kata dia.
Staf pengajar Ilmu Politik UI itu, menjelaskan, perbedaan hasil
hitung cepat tergantung dari faktor pengukuran, seperti besaran jumlah
TPS, distribusi atau coverage (jangkauan) wilayah, dan tingkat keacakan dalam menentukan TPS.
"Tapi juga ada faktor non-pengukuran, yaitu faktor etika dan
manusianya sebagai penggerak riset tersebut. Faktor yang terakhir sulit
dibuktikan, tapi ada pengaruhnya karena terkait kredibilitas," kata
Dirga.