Jumat, 16 Oktober 2015

BELA NEGARA

Belakangan gencar dipublikasikan oleh media perihal Program Bela Negara yang menjadi program andalan Menteri Pertahanan Kabinet Jokowi. Berbagai tanggapan telah diberikan oleh berbagai lapisan masyarakat dari mulai masyarakat "kampung" sampai "masyarakat gedongan", dari "kampus" sampai "media".
Salah satu tujuan program Bela Negara adalah mewajibkan pendudukan yang berusia di bawah 50 tahun (?) untuk masuk dalam pendidikan "Bela Negara", dengan harapan mereka yang telah dididik selama beberapa bulan, setelah selesai pendidikan akan memiliki nasionalisme yang tinggi, jiwa patriot dengan semangat untuk membela tanah air dan bangsanya, rela berkorban untuk memperjuangkan kedaulatan negara dan bangsanya.
Program yang benar-benar aneh, dengan biaya ratusan milyar rupiah pastinya, berhasilkah kualitas lulusan seperti yang digembar-gemborkan. Mari kita tengok, berapa banyak aktivis yang membela agraria, perusakan lingkungan akibat tambang liar, pembabatan dan pembakaran hutan, pejuang HAM mati dibunuh di depan aparat, pemberantas korupsi justru dikriminalisasi. Mereka tanpa mengalami "kursus" bela negara sudah berjuang dan rela mengorbankan nyawanya untuk membela tanah air dan bangsanya, apa hasilnya "mati konyol".
Oleh sebab itu bela negara, lebih baik diproritaskan untuk para anggota  DPR, Hakim, Jaksa, Aparat Keamanan serta mereka yang bermaksud untuk mencalonkan diri menjadi anggota Legislatif, Yudikatif dan kepala daerah bahkan kepala negara terlebih dahulu. "Kursus Bela Negara" juga perlu diberikan pada aparat keamanan untuk menjadikan mereka mau "bermuhasabah" terhadap tugas utama mereka. Kekayaan para perwira tinggi mereka sudah melampaui batas normal seorang abdi negara. Meskipun saya yakin masih banyak yang jujur dan berintegritas. Demikian juga kekayaan para anggota DPR/DPRD yang melebihi kekayaan direksi perusahaan swasta menengah yang telah bekerja puluhan tahun. Sedangkan mereka menjadi anggota DPR/DPRD hanya satu periode (5 tahun), tetapi kekayaannya sudah sangat luar biasa. Mereka-mereka yang menyimpang itulah yang seharusnya diwajibkan untuk mengikuti "kursus bela negara" dan bukan rakyat kecil, yang pasti selalu siap untuk membela kedaulatan tanah air dan bangsanya. Sejarah telah mencatat itu, kemerdekaan direbut oleh rakyat Indonesia. Oknum-oknum tersebutlah yang telah merusak semangat patriotisme dalam membela tanah air. Mereka senantiasa berebut kekuasaan, yang tujuannya semata-mata hanyalah untuk mengumpulkan harta. Seorang wakil ketua DPR dari partai dakwah mengatakan bahwa "kursi pimpinan dewan sangat menjijikan", namun sebelumnya dia telah berjuang habis-habisan untuk memperoleh kursi yang menjijikkan tersebut. Nilai-nilai kehidupan mereka yang seperti itu telah membuat masyarakat muak. Anggota DPR memperjuangkan rakyat, adalah slogan omong kosong dari kaum politisi. Mata Najwa 14 Oktober 2015, telah mengangkat seorang mantan pembakar hutan dan Walhi, dengan gamblang mereka mengatakan bahwa pembakaran hutan disaksikan oleh aparat keamanan dan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun. Kemudian mantan presiden SBY melalui twitter sudah menyatakan bahwa 70% pembakar hutan adalah korporasi. Dan kalau mau bukan hal yang sulit bagi aparat untuk menangkap para pembakar hutan karena kantor mereka jelas, alamat direksi dan pemilik perusahaan juga jelas.
Itu adalah contoh-contoh kecil bahwa para penegak hukum telah luntur jiwa nasionalis dan patriotismenya, bahkan menjual integritas dirinya hanya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kalau para elit negeri ini memiliki jiwa nasionalisme, patriotisme dan cinta negerinya, rakyat tanpa melalui program bela negara yang akan menghabiskan dana ratusan milyar, pasti akan mencontoh para tokoh tersebut. Siapa yang mampu merusak lingkungan, gunung dihancurkan, hutan dibakar dan ditebang, lingkungan dirusak untuk memperoleh hasil tambang, pastilah bukan rakyat kecil.
Program bela negara hanya cocok untuk para penegak hukum, elit politik, elit pemerintah daerah maupun pusat dan tidak cocok untuk rakyat semesta. Yang tidak punya jiwa nasionalisme dan sikap patriotik itu mereka bukan rakyat.