Selasa, 18 Agustus 2015

Kiat Menjadi Jaksa "Bersih" ala Jaksa KPK






Jaksa harus berani, tegas, tidak kompromi, dan loyal pada kebenaran.

Meski tidak hanya berfungsi sebagai penuntut umum, profesi jaksa merupakan aparat penegak hukum yang memegang peranan penting dalam proses penuntutan suatu perkara pidana. Apabila seorang jaksa tidak mampu memegang teguh integritasnya, alih-alih menjadi jaksa bersih, jaksa itu akan terjerumus ke dalam pusaran korupsi.

Sebut jaksa Urip Tri Gunawan. Urip ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menerima suap dari Artalyta Suryani pada 2008. Kemudian, ada jaksa Sistoyo yang ditangkap KPK di halaman kantor Kejaksaan Negeri Cibinong karena menerima suap pada 2011. Ada pula jaksa Dwi Seno Wijanarko yang ditangkap KPK karena melakukan pemerasan.

Selain itu, ada Kepala Kejaksaan Negeri Praya Subri yang ditangkap KPK usai menerima suap dari seorang pengusaha pada 2013. Tidak hanya jaksa Urip, Sistoyo, Dwi, dan Subri yang sempat "terserempet" kasus korupsi, ada juga dua jaksa fungsional di Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara yang ditangkap Kejaksaan Agung karena memeras.

Contoh-contoh tersebut menunjukan bahwa profesi jaksa sangat rentan terjerumus ke dalam pusaran korupsi. Untuk tetap menjaga integritas profesi jaksa sebagai penegak hukum, salah seorang jaksa KPK, Yudi Kristiana memberikan kiat-kiatnya. Yudi dikenal sebagai sosok jaksa progresif yang mampu menjaga integritasnya dimana pun ia bertugas.

Doktor lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini juga pernah mempunyai pengalaman "buruk" ketika bertugas di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Kala itu, Yudi harus berhadapan dengan intervensi atasannya, sehingga ia harus dipindahtugaskan ke Luwuk, Pagimana, Sulawesi Tengah. Berikut kiat-kita untuk menjadi jaksa bersih ala Yudi Kristiana:

1. Cari Pasangan Hidup yang Bisa Menjaga Integritas

Yudi menganggap profesi jaksa merupakan profesi yang sangat berat. Selain mengemban tugas penegakan hukum, seorang jaksa kerap dihadapkan dengan realitas hidup kebutuhan sehari-hari, sedangkan gaji seorang jaksa tidak lah besar. Hal ini yang sering membuat jaksa "jatuh" dan harus berkompromi dengan keadaan untuk sekedar menopang hidup.

Oleh karena itu, Yudi mengatakan, keluarga, khususnya istri/suami memiliki peranan penting untuk menopang integritas seorang jaksa. "Maka, tidak berlebihan jika ada ungkapan, 'Di balik keberadaan suami, ada seorang istri yang luar biasa'. Bagi saya, istri itu jadi penentu bagaimana integritas itu dibangun dan terjaga," katanya kepada hukumonline, Kamis (13/8).

Yudi teringat dengan masa-masa sulit ketika menjadi jaksa dengan gaji kecil. Istrinya yang sama-sama PNS sangat memahami kondisi dan risikonya sebagai seorang jaksa. Bahkan, ia dan keluarganya tinggal di rumah berukuran tipe 21 selama hampir 15 tahun. Untuk membeli rumah pun, Yudi harus meminjam Rp50 juta ke bank yang dilunasinya secara mencicil.

"Kalau anda perhatikan, banyak orang terjerat kasus korupsi karena banyak perempuan juga. Jadi, artinya baik keberhasilan maupun ketidakberhasilan itu memang salah satu bagian pentingnya keluarga, terutama istri/suami. Kebetulan istri saya itu chemistry-nya cocok dengan saya. Dia tahu betapa susahnya hidup jadi jaksa dengan gaji seperti itu," ujarnya.

2. Hidup Sederhana dan Apa Adanya

Menjadi seorang jaksa tidak perlu hidup berlebih-lebihan. Yudi menyarankan agar jaksa hidup sederhana dan apa adanya. Apabila seorang jaksa dengan gaji yang dimilikinya hanya mampu membeli rumah berukuran kecil, tidak perlu malu. Jaksa tersebut harus mensyukuri apa yang ia miliki, sehingga godaan-godaan tidak mampu "menggoyahkan" integritasnya.

Walau begitu, Yudi mengakui, tidak semua jaksa mampu bertahan dengan kondisi seperti itu. "Hidup layak aja susah jaksa itu. Mungkin gaji anda lebih besar dari gaji jaksa sekarang. Tapi, harus tetap zero tolerance. Jadi, kalau tidak, dari awal mengatakan tidak. Memang tidak semua orang mampu bertahan di tengah kekurangan seperti itu," terangnya.

3. Memegang Teguh Prinsip, Jujur, dan Takut Tuhan

Yudi berpendapat seorang jaksa itu harus memegang teguh prinsip, jujur, dan takut kepada Tuhan. Sebagaimana prinsip Yudi, cinta akan uang itu adalah akar dari kejahatan. Oleh karena itu, jaksa jangan berorientasi pada kekayaan karena jaksa itu akan berpikir bagaimana mengejar kekayaan sekalipun harus melakukan kejahatan.  

"Jadi, kita harus menempatkan nilai-nilai transendensi itu di atas segalanya. Jangan sampai terjebak pada persoalan praktis terhadap pragmatisme sehari-hari. Kita harus mampu mengatasi itu. (Kalau ada orang yang mengaku dekat dengan Tuhan, tapi tetap korupsi) Itu berarti dia terjebak pada pemikiran bahwa agama seolah ritual saja," ucapnya.

Menurut Yudi, agama seharusnya tidak hanya dimaknai dengan menyembah kepada Tuhan. Dalam artian, jika sudah menyembah Tuhan, seolah-olah esensi dari agama itu selesai, sehingga agama hanya menjadi ritual. Padahal, esensi dari agama itu adalah nilai-nilai kebaikan, kejujuran, kesederhanaan, dan keteladanan.

4. Berani, Tegas, Tidak Kompromi, dan Loyal terhadap Kebenaran

Yudi menyatakan, sebagai aparat penegak hukum, jaksa itu harus berani, tegas, tidak kompromi, dan loyal terhadap kebenaran. Sikap-sikap ini yang dibutuhkan seorang jaksa, terlebih lagi ketika menangani korupsi. Pasalnya, dalam penanganan kasus korupsi, jaksa sering kali harus berhadapan dengan otoritas kekuasaan.

Otoritas kekuasaan tersebut, sambung Yudi, tidak jarang mempengaruhi otoritas lembaga penegakan hukum. Maka dari itu, seorang jaksa harus berani menentang, termasuk menentang atasannya jika atasannya tidak benar. Selain itu, jaksa harus berani bertindak tegas dan tidak kompromi walau apapun risikonya.

"Untuk memerangi korupsi, terlalu kecil kalau hanya sekedar menentang atasan. Salah jika hal itu dinilai sebagai kriteria negatif. Kalau perlu, kita menghukum atasan kalau memang salah. Itu yang dibutuhkan (dalam pemberantasan korupsi) dengan segala konsekuensi. Kalau kita letoy, dimakan sama koruptor. Loyalitas itu pada kebenaran, bukan pada institusi," tandasnya. (Sumber Hukum online)