Jaksa harus
berani, tegas, tidak kompromi, dan loyal pada kebenaran.
Meski tidak
hanya berfungsi sebagai penuntut umum, profesi jaksa merupakan aparat penegak
hukum yang memegang peranan penting dalam proses penuntutan suatu perkara
pidana. Apabila seorang jaksa tidak mampu memegang teguh integritasnya,
alih-alih menjadi jaksa bersih, jaksa itu akan terjerumus ke dalam pusaran
korupsi.
Sebut jaksa
Urip Tri Gunawan. Urip ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah
menerima suap dari Artalyta Suryani pada 2008. Kemudian, ada jaksa Sistoyo yang
ditangkap KPK di halaman kantor Kejaksaan Negeri Cibinong karena menerima suap
pada 2011. Ada pula jaksa Dwi Seno Wijanarko yang ditangkap KPK karena
melakukan pemerasan.
Selain itu,
ada Kepala Kejaksaan Negeri Praya Subri yang ditangkap KPK usai menerima suap
dari seorang pengusaha pada 2013. Tidak hanya jaksa Urip, Sistoyo, Dwi, dan
Subri yang sempat "terserempet" kasus korupsi, ada juga dua jaksa
fungsional di Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara yang ditangkap Kejaksaan
Agung karena memeras.
Contoh-contoh
tersebut menunjukan bahwa profesi jaksa sangat rentan terjerumus ke dalam
pusaran korupsi. Untuk tetap menjaga integritas profesi jaksa sebagai penegak
hukum, salah seorang jaksa KPK, Yudi Kristiana memberikan kiat-kiatnya. Yudi
dikenal sebagai sosok jaksa progresif yang mampu menjaga integritasnya dimana
pun ia bertugas.
Doktor
lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini juga pernah mempunyai
pengalaman "buruk" ketika bertugas di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Kala itu, Yudi harus berhadapan dengan intervensi atasannya, sehingga ia harus
dipindahtugaskan ke Luwuk, Pagimana, Sulawesi Tengah. Berikut kiat-kita untuk
menjadi jaksa bersih ala Yudi Kristiana:
1. Cari
Pasangan Hidup yang Bisa Menjaga Integritas
Yudi
menganggap profesi jaksa merupakan profesi yang sangat berat. Selain mengemban
tugas penegakan hukum, seorang jaksa kerap dihadapkan dengan realitas hidup
kebutuhan sehari-hari, sedangkan gaji seorang jaksa tidak lah besar. Hal ini
yang sering membuat jaksa "jatuh" dan harus berkompromi dengan
keadaan untuk sekedar menopang hidup.
Oleh karena
itu, Yudi mengatakan, keluarga, khususnya istri/suami memiliki peranan penting
untuk menopang integritas seorang jaksa. "Maka, tidak berlebihan jika ada
ungkapan, 'Di balik keberadaan suami, ada seorang istri yang luar biasa'. Bagi
saya, istri itu jadi penentu bagaimana integritas itu dibangun dan
terjaga," katanya kepada hukumonline, Kamis (13/8).
Yudi
teringat dengan masa-masa sulit ketika menjadi jaksa dengan gaji kecil.
Istrinya yang sama-sama PNS sangat memahami kondisi dan risikonya sebagai
seorang jaksa. Bahkan, ia dan keluarganya tinggal di rumah berukuran tipe 21
selama hampir 15 tahun. Untuk membeli rumah pun, Yudi harus meminjam Rp50 juta
ke bank yang dilunasinya secara mencicil.
"Kalau
anda perhatikan, banyak orang terjerat kasus korupsi karena banyak perempuan
juga. Jadi, artinya baik keberhasilan maupun ketidakberhasilan itu memang salah
satu bagian pentingnya keluarga, terutama istri/suami. Kebetulan istri saya itu
chemistry-nya cocok dengan saya. Dia tahu betapa susahnya hidup jadi jaksa
dengan gaji seperti itu," ujarnya.
2. Hidup
Sederhana dan Apa Adanya
Menjadi
seorang jaksa tidak perlu hidup berlebih-lebihan. Yudi menyarankan agar jaksa
hidup sederhana dan apa adanya. Apabila seorang jaksa dengan gaji yang
dimilikinya hanya mampu membeli rumah berukuran kecil, tidak perlu malu. Jaksa
tersebut harus mensyukuri apa yang ia miliki, sehingga godaan-godaan tidak
mampu "menggoyahkan" integritasnya.
Walau begitu,
Yudi mengakui, tidak semua jaksa mampu bertahan dengan kondisi seperti itu.
"Hidup layak aja susah jaksa itu. Mungkin gaji anda lebih besar dari gaji
jaksa sekarang. Tapi, harus tetap zero tolerance. Jadi, kalau tidak, dari awal
mengatakan tidak. Memang tidak semua orang mampu bertahan di tengah kekurangan
seperti itu," terangnya.
3. Memegang
Teguh Prinsip, Jujur, dan Takut Tuhan
Yudi
berpendapat seorang jaksa itu harus memegang teguh prinsip, jujur, dan takut
kepada Tuhan. Sebagaimana prinsip Yudi, cinta akan uang itu adalah akar dari
kejahatan. Oleh karena itu, jaksa jangan berorientasi pada kekayaan karena
jaksa itu akan berpikir bagaimana mengejar kekayaan sekalipun harus melakukan
kejahatan.
"Jadi,
kita harus menempatkan nilai-nilai transendensi itu di atas segalanya. Jangan
sampai terjebak pada persoalan praktis terhadap pragmatisme sehari-hari. Kita
harus mampu mengatasi itu. (Kalau ada orang yang mengaku dekat dengan Tuhan,
tapi tetap korupsi) Itu berarti dia terjebak pada pemikiran bahwa agama seolah
ritual saja," ucapnya.
Menurut
Yudi, agama seharusnya tidak hanya dimaknai dengan menyembah kepada Tuhan.
Dalam artian, jika sudah menyembah Tuhan, seolah-olah esensi dari agama itu
selesai, sehingga agama hanya menjadi ritual. Padahal, esensi dari agama itu
adalah nilai-nilai kebaikan, kejujuran, kesederhanaan, dan keteladanan.
4. Berani,
Tegas, Tidak Kompromi, dan Loyal terhadap Kebenaran
Yudi
menyatakan, sebagai aparat penegak hukum, jaksa itu harus berani, tegas, tidak
kompromi, dan loyal terhadap kebenaran. Sikap-sikap ini yang dibutuhkan seorang
jaksa, terlebih lagi ketika menangani korupsi. Pasalnya, dalam penanganan kasus
korupsi, jaksa sering kali harus berhadapan dengan otoritas kekuasaan.
Otoritas
kekuasaan tersebut, sambung Yudi, tidak jarang mempengaruhi otoritas lembaga
penegakan hukum. Maka dari itu, seorang jaksa harus berani menentang, termasuk
menentang atasannya jika atasannya tidak benar. Selain itu, jaksa harus berani
bertindak tegas dan tidak kompromi walau apapun risikonya.
"Untuk
memerangi korupsi, terlalu kecil kalau hanya sekedar menentang atasan. Salah
jika hal itu dinilai sebagai kriteria negatif. Kalau perlu, kita menghukum
atasan kalau memang salah. Itu yang dibutuhkan (dalam pemberantasan korupsi)
dengan segala konsekuensi. Kalau kita letoy, dimakan sama koruptor. Loyalitas
itu pada kebenaran, bukan pada institusi," tandasnya. (Sumber Hukum
online)