Jokowi di
Mata Kiai Lokal
Senin,
30/06/2014 08:01
Oleh Irfan
Nuruddin
---Berawal
dari seringnya mendapat pertanyaan dari teman-teman alumni Pondok
Langitan, perihal sosok Jokowi, bagaimana keislamannya dan kiprah dia
sewaktu menjadi Wali Kota Solo. Pertanyaan tersebut ada mungkin karena
seringnya kampanye hitam yang mereka terima, baik melalui SMS, transkrip
pembicaraan, media cetak maupun di sosial media.
Awalnya saya
jawab, “Menurutku, sepengetahuanku….” Tapi jawaban seperti itu, bagiku sendiri
juga tidak afdhol, kurang begitu shohih, tsiqoh, aku iki lho sopo (saya
bukan siapa-siapa)?
Kemudian
saya berinisiatif untuk mendapatkan info tentang Jokowi dari sumber yang tsiqoh,
yang tahu dan kenal dekat dengan Jokowi, dan yang aku tahu adalah KH. Abdul
Kareem, seorang hafidzul Qur’an dan juga Pengasuh Pondok Pesantren Az-Zayyady,
Laweyan, Solo. Untuk masyarakat Solo dan sekitarnya pasti tahu siapa beliau.
Beliau juga sahabat sekaligus mentor Jokowi.
“Pak,
keislaman Jokowi niku pripun (bagaimana sebenarnya keislaman Jokowi)?” tanyaku
langsung ke masalah. Siang itu, Ahad 22 Juni di ndalem beliau,
Tegal Ayu, Laweyan, Solo.
“Islam-imanipun
Jokowi miturut kulo sae, saestu sae (baik, benar-benar baik). Saya kenal
Jokowi jauh sebelum dia menjadi walikota, ketika dia menjadi ketua Asmindo,
Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia, dia punya perusahaan mebel namanya
‘Rakabu’. Dia aktif mengikuti pengajian-pengajian saya. Dan dikemudian hari
membentuk majlis pengajian Pengusaha Islam Muda yang namanya Bening Ati,
pengasuhnya kulo kiyambak (saya sendiri), Pak Yai Nahar, (Pengasuh PP Ta’mirul
Islam waktu itu) dan juga PakYai Rozaq, (Pengasuh PP Al Muayyad).
Tapi
beberapa tahun majelis pengajian berlangsung, kemudian goyah, karena beberapa
anggotanya sama mencalonkan dirimenjadi Wali Kota, Pak Jokowi sendiri, Pak
Purnomo, (sekarang menjadi Wakil WaliKota Solo) dan Pak Hardono. Lah kulo
‘kebagian’ mendukung Pak Jokowi, dan pada saat itulah saya tahu betul bagaimana
Pak Jokowi, sebab renteng-renteng bareng kemana-mana, puasa Senin-Kemisnya
tidak pernah ketinggalan, tahajudnya juga luar biasa, sama sekali tidak pernah
tinggal Jum’atan, apalagi cuma sholat lima waktu yang memang dah kewajiban.
Keluarga Jokowi juga Islamnya taat, adik-adiknya putri semua berjilbab itu juga
sejak dulu, dan juga diambil mantu oleh orang-orang yang Islamnya baik
semua, Jenengan ngertos kiyambak tho Gus?” jawab beliau lugas.
“Tapi
kulo gih tidak habis pikir, kenapa orang yang jelas-jelas
keislamannya kok diisukan kafir, keturunan nasrani, cina dan lain-lain, hanya
karena perbedaan politik, tur itu yang mengisukan yo wong islam dewe… Kulo ape
meneng wae opo yo trimo, opo yo pantes, dulur Islam dikafir-kafirke kok meneng
ora mbelani, opo yo pantes…” ucap beliau dengan berusaha keras menahan air mata
sehingga mata beliau memerah. Suara beliau sengau menahan isak.
Melihat
pemandangan seperti itu, hatiku rasanya ngilu, seperti diremas-remas oleh
kekuatan dunia lain, betapa ringannya orang mempolitisasi agama untuk
kekuasaan, aku terdiam lama, untuk meneruskan pertanyaan rasanya tidak
mampu.Terbawa suasana yang tiba-tiba mengiris-ngiris kalbu.
“Ya
memang Pak Jokowi bukanlah santri ndeles kados Jenengan Gus, bacaannya tidak
sebagus santri-santri Muayyad, tapi opo terus kekurangan seperti itu menjadikan
dia pantas dicap abangan, gak ngerti agomo…apalagi kafir?” Dengan menahan isak
pertanyaan tersebut terucap.
Memang isu
Jokowi sebagai orang abangan atau kejawen itu dimunculkan sejak Jokowi
mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta dua tahun lalu, dan setahuku Jokowi
waktu itu sama sekali tidak menggubris isu-isu tersebut. Dan rupanya isu-isu
tersebut dimunculkan lagi saat pilpres ini dan lebih masih dan dasyhat,
sehingga pada waktu Jokowi sowan ke Pak Dul Kareem (begitu aku
biasa menyebut KH Abdul Kareem Ahmad), 6 Juni lalu, JOKOWI madul, “Kulo
kiyambak Gus Kareem, bisa menahan diri difitnah-fitnah seperti itu, tetapi menawi
kalau itu ibu saya, ibu saya difitnah kafir, nasrani,… kulo sing mboten
saget nrimo (tidak apa saya difitnah, tapi kalau ibu saya yang difitnah kafir,
nasrani, saya tidak terima),” kata Jokowi ditrukan Pak Dul Kareem. Lah
dalah, aku merinding mendengar cerita tersebut.
Mungkin
juga, Jokowi dianggap orang abangan karena dia diusung oleh PDIP yang identik
dengan abang-abang, padahal PDIP Solo, sangat agamis, punya masjid sendiri di
depan Kantor PDIP di Brengosan, dan masjidnya makmur, setiap minggu ada
kegiatan semaan Al Qur’an bil ghoib dan pengajian rutin. Tur juga, partai yang
terkuat di Solo adalah PDIP, partai-partai lain yang berbasis Islam seperti
PPP, dan PKB sama sekali gak ada baunya, kecuali PAN dan PKS-mambu-mambu
sitik (partai Islam di Solo tidak terlalu kuat).
Sebetulnya
obrolan tersebut sangat panjang dan beragam masalah yang didawuhkan oleh Pak
Dul Kareem, tapi karena terbatasnya halaman, aku singkat semua obrolan tersebut
dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana kepemimpinan Jokowi selama menjadi wali
kota Solo, ketegasannya dan juga kebijakannya, terutamapada umat Islam?”
“Kebijakkan
Pak Jokowi selama di Solo, sama sekali tidak ada yang merugikan umat Islam,
kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah agama selalu
dikonsultasikan dulu pada ulama Solo, terutamanya pada Kyai Durrohim, Mustasyar
NU waktu itu. Dan kebijakan Pak Jokowi itu bersifat Islam subtantif Gus, tur
yo merakyat tenan, umat Islam di Solo itu kan mayoritas dan juga
kalangan bawah, jadi Pak Jokowi untuk mengangkat ekonomi rakyat kecil
dengan menbangun banyak pasar-pasar tradisional, minimarket tidak boleh buka 24
jam, tidak mengizinkan mall-mall ada lagi,jarene Pak Jokowi, kalo umat Islam
sejahtera maka masjid dengan sendirinya akan dipenuhi jama’ah, gitu Gus,” jelas
Pak Dul Kareem padaku.
Memang yang
kudengar selama ini ya begitu itu, bahkan Jokowi berani menentang kebijakan
Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah yang mengizinkan dibangunnya mall di
Sari Petojo, sebab memang tanah Sari Petojo adalah milik propinsi, dan
berhubung itu berada di daerah Solo, pembangunan tersebut tidak diizinkan oleh
Jokowi, karena tidak berpihak pada ekonomi rakyat kecil di sekitarnya.
“Contoh
lain, lokalisasi Shilir yang ada di Semanggi setahun menjadi Wali Kota, ditutup
oleh Pak Jokowi, dan kemudian dibangun sebuah pasar untukmenghidupkan
perekonomian warga sekitar. Dan yang mengisi pasar tersebut adalah para
pedagang loak yang di Banjarsari, di sana itu ada sebuah monument yang menjadi
cagar budaya, kumuh dan kotor karena di tempati oleh PKL-PKL yang tidak
teratur. Dan cara memindahkannya pun, Masya Alloh, sangat manusiawi, nguwongke
uwong tenan, perwakilan PKL di undang makan di Lodji Gandrung sampai puluhan
kali kalau tidak salah untuk berdiplomasi dengan para pedagang, dan
ketika para pedagang menerima dipindah, mindahnya pun tidak dengan kekerasan,
dipawaikan… dikirab dengan marak… podo ditumpakke jaran, seneng tenan…
podo diuwongke mbek Wali Kotane… (proses pemindahan tidak dengan kekerasan,
semua pihak merasa dihargai),” cerita PakDul Kareem panjang lebar.
Aku
membayangkan kemeriahan tersebut dan kegembiraan warganya yang merasa
dimanusiakan oleh pemimpinnya. Selama sebelum Jokowi, Solo kumuh dan semrawut,
dan sekarang terlihat lebih hijau dan rapi, meskipun tidak semuanya, tapi
itu jauh lebih baik dari pada masa-masa sebelum Wali Kota Jokowi. Dan ketika
Shilir di tutup, Habib Syekh yang memang tinggal di Semanggi mendirikan majelis
“Shilir Berdzikir” yang menjadi cikal bakal Ahbabul Musthofa saat ini.
Solo saat
ini jadi lebih hijau dhohiron wa bathinan, peringatan hari besar Islam
juga lebih semarak, ada Parade Hadrah setiap Rajab, Festival Sholawat, kegiatan
dzikir tahlil dan barzanji semakin marak, ada setiap saat, tidak hanya di
masjid-masjid tapi juga di hotel-hotel mewah. Itu semua sebab
kebijakan-kebijakan Jokowi dalam membangun Solo sebagai Kota Sholawat dan juga Spirit
of Java. Sholawat Barzanji yang awalnya sesuatu yang jarang, karena NU di Solo
adalah minoritas, sekarang menjadi hal yang seakan harus hadir dalam setiap
moment, iya, sejak Jokowi menjadikan Majelis Dzikir dan Sholawatan sebagai tamu
rutin di Balai Kota setiap Rabiul Awwal. Tidak hanya itu, di Rumah Dinas
beliau, Lodji Gandrung dijadikan tempat rutin taraweh ala Masjidil Haram, 23
rakaat beserta witir dan mengkhatamkan Al Qur’an.
“Ketika
Jamuro pertama kali diundang di Balai Kota, Pak Jokowi memberi kenang-kenangan,
dalam bungkusan yang sangat tebal, kulo ngiro niku isinya arto Gus, tapi
jebule stiker (saya kira isinya uang, tapi sertanya isinya stiker)
bertuliskan, “Jamuro, dengan Bershalawat Kita Semua Selamat Dunia Akhirat.”
Aku tertawa
mendengar cerita tersebut, sebab kenang-kenangan tumpukan 5000 stiker sebesar
uang kertas, dibungkus dengan rapi kertas coklat, yang dibuka di depan umum,
bisa menjadikan orang menyangka itu adalah uang puluhan juta. Jebule cuma
stiker.
Jamuro,
singkatan dari Jam’ah Muji Rosul, awalnya hanya majlis dzikir tahlil dan
pembacaan Barjanji yang menjadi rutinan segelintir jamaah, tapi sekarang
jama’ahnya puluhan ribu dari Solo dan sekitarnya. Dan Pak Jokowi adalah salah
satu pembinanya.
“Lah
ndilalah, Pak Jokowi satu tahun jadi wali kota, kulo kebetulan dados ketua PCNU
Solo, jadi gih saget bersinergi dengan Pak Wali, dan Pak Jokowilah yang
mengusulkan dan yang ngobrak-ngobrakki agar di bentuk Ranting NU di seluruh
Solo, ada 51 Ranting, dan ini baru pertama kalinya PCNU Solo punya ranting, itu
berkat Pak Jokowi dan Pak Jokowi juga yang membuatkan 51 papan nama untuk
ranting NU tersebut,” cerita Pak Dul Kareem dengan antusias.
“Di
antara juga, shalat Idul Fitri bisa terlaksana di Balai Kota, itu juga
kebijakan Pak Jokowi dan Pak Jokowi sendiri yang menutupi dua arca yang di
depan balai kota itu, pakai kain mori, ditutup sendiri, padahal untuk hal
seperti itu, nyuruh ajudan kan bisa.” Saya jadi teringat ketika Jokowi ngangkati
gong yang mau ditabuh oleh SBY, entah dalam pembukaan apa itu, aku lupa.
Hal-hal
seperti itu tentu tidak pernah kita dengar dari mulut Jokowi sendiri, yang kita
dengar hanyalah pembelaan, “Saya Islam, dan saya meyakini kebenaran Islam
saya.” Dan pembelaan diri Jokowi bahwa dirinya dari keluarga muslim yang baik,
yang juga telah melakukan rukun Islam kelima, itu juga baru kita dengar
setelah begitu gencarnya fitnah yang meragukan keislaman dia selama Pilpres
2014 ini. Selama Pilkada Jakarta, dua tahun lalu, JOKOWI membiarkan
fitnah-fitnah itu bagai angin lalu, Islamku yo Islamku, lapo dipamer-pamerke…
mungkin seperti itu pikirnya. Padahal sekarang yang lagi naik daun adalah
“Akulah yang paling Islam, Akulah yang paling benar” yang lain KW.
Pak Kiai Dul
Kareem, memang tidak semasyhur poro masyayih maupun poro mursyid, tapi beliau
adalah orang yang ikhlas, dan juga salah satu tokoh yang nasehatnya di dengar
Jokowi. Dan Jokowi pun tidak pernah menarik Pak Dul Kareem dalam ranah politik
dia.
“Gus Kareem,
saya minta dikawal sampai saya selesai, tapi Panjenengan hanya bisa menasehati
kulo atau memberi usul, tidak bisa merubah kebijakan saya dalam hal
pemerintahan. Kalo dalam hal wudhu, atau sholat, atau ibadah kulo yang salah, kulo
menawi mboten nurut Jenengan, kulo monggo Jenengan sampluk. (Kalau dala
urusan wudhu dan shalat saya salah, tolong saya diluruskan), itu perkataan
Jokowi sendiri ketika dia menjadi Wali Kota Solo, begitu itu sosok Pak Jokowi
Gus, tegas, semua bawahannya pasti tahu itu.” Akhir cerita PakDul Kareem,
allohu yarham.
Terlepas
dari penuturan di atas, Jokowi juga mempunyai banyak kekurangan, dalam
pemerintahannya maupun perilaku. Dan itu kalau ditulis bisa jauh
berlampir-lampir, beredisi-edisi, sebab mengurai kekurangan orang lain tidak
akan habisnya. Ia hanyalah manusia biasa. Tapi aku hanya mengfokuskan diri
menjawab pertanyaan teman-temanku selama ini.
Wallohu
a’lam bisshowab.
Irfan
Nuruddin, santri
Pondok Pesantren Langitan, Khodimul ma’had Al Muayyad, Mangkuyudan, Solo