Kamis, 30 Mei 2013

Kehidupan Anakku di Pesantren

Setiap hari Minggu saya bersama keluarga nengok anak yang mondok di sebuah pesantren di daerah Sukabumi. Jarak rumahku di depan kantor walikota Jakarta Timur ke Pondok sekitar 110 km saja, namun karena kemacetan yang luar biasa antara jalur Ciawi ke Sukabumi, maka jarak yang sekitar 45 km harus ditempuh sekitar 2,5 jam saja.
Namun kerinduan ke anak perempuan yang mondok dan kebanggaan yang luar biasa terhadap anak tsb, membuat kami menempuh kemacetan tsb dengan penuh kesabaran dan puji syukur kehadiran Allah Subhanahu wa Ta'ala. Anak yang selama ini menempuh pendidikan selama 9 tahun di YPI Al-Azhar tiba-tiba minta ijin untuk mondok. Tentu saja kami (ayah & bunda) kaget luar biasa dan bersyukur atas hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan padaanakku.
Sudah hampir setahun anakku di ponpes, perkembangannya alhamdulillah sangatlah luar biasa. Mungkin karena diajarkan untuk mandiri, berteman dengan anak-anak pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami senantiasa terharu kalau melihat kehidupan di pondok tsb, santriwan maupun santriwati yang santun-santun dan hidup rukun meskipun mereka berasal dari keluarga dan suku yang berbeda-beda. Tidak ada laptop, hp maupun telivisi. Waktu-waktu luang mereka diisi dengan aktivitas membaca Alquran,menghafal dan aktivitas-aktivitas lainnya yang sangat positif. Demikian juga bagaimana bijaknya para ustadz dan "ummi" dalam mendidik mereka, memberi nasehat dan kadang-kadang harus menghukum, melakukan pembinaan jika ada santriwan-santriwati yang melakukan pelanggaran. Dengan sistem pendidikan dan lingkungan seperti dalam pondok tersebut Insya Allah santriwan-santriwati rasanya tidak akan menjadi koruptor seperti ustadz Luthfi Hasan (mantan Presiden PKS), Fathonah dan kelompoknya. Sungguh mengherankan Lufhi, Fathonah yang memiliki dasar pendidikan pesantren menjadi liar seperti itu, mengumpulkan harta haram dan memburu kepuasan nafsu syahwat belaka. Apakah pendidikan dasar pesantrennya tidak berbekas sama sekali?
Kalau melihat pola kehidupan pondok pesantren di mana anak saya nyantri, rasanya tidak mungkin akan melahirkan orang-orang seperti Lutfhi, Fathonah dan kelompoknya, ustadz-ustadz yang tidak mampu mengenal halal dan haram dan hanya mengejar kepuasan nafsu syhawat belaka.
Bagaimana tidak, kadang-kadang kami mendengar "ummi" sebagai penanggung jawab unit, jika selesai sholat berjamaah (santriwati), memberi wejangan bahwa "ngliatin laki-laki" itu haram hukumnya. Wejangan yang serupa pastilah disampaikan oleh para ustadz yang mengasuh unit santri laki-laki. Demikian juga pola hidup sederhana juga diajarkan, santriwan-santriwati hanya boleh "jajan" perhari tidak lebih Rp.10.000,-. Akibatnya luar biasa, anak saya yang baru setahun sudah memiliki tabungan lebih dari Rp.5 juta bahkan ketika Idul Adha sudah bisa berkorban dari uang tabungannya sendiri, meskipun baru berupa kambing seharga Rp.1,5 juta.
Padahal ketika sekolah di YPI Al-Azhar uang saku yang diminta jauh lebih besar dari itu dan tidak punya tabungan.. Rp. 5 juta itu berasal dari sisa uang saku yang dititipkan bundanya ke Tata Usaha pondok, mereka menyebutkan LP3. Setiap 2 minggu Bundanya menitipkan uang Rp.250-300 ribu dan sesuai aturan kalau mau jajan setiap hari harus minta ke LP3. Anakku paling "malas antri" seperti saya, sehingga dia memilih tidak jajan ketika banyak santri akan minta uang jajan ke petugas di LP3. Dia sekarang sudah punya ATM (qq bundanya) di Mandiri Syariah cabang Sukabumi, mimpinya tabungannya nanti untuk biaya masuk kuliah .............. Alhamdulillah
Itulah makanya mengherankan kaliber ustadz seperti Lutfhi, Fathonah serta ustad-ustad kelompoknya yang mengenyam pendidikan pesantren, bahkan Fathonah anak seorang pemilik pesantren, bisa memiliki perilaku liar seperti saat ini. Tetapi memang sering terdengar cerita, akibat pendidikan pesantren yang melakukan pengawasan ketat terhadap sistem pergaulan santriwan-santriwati, mengakibatkan ketika mereka lepas dari Pesantren akhirnya menjadi "liar". Bagi saya cerita tsb memang disebarkan oleh para iblis untuk mencegah orang tua agar tidak memasukkan putra-putrinya ke pesantren dan iblis-iblis itulah yang sekarang menguasasi para koruptor tsb.
Bagi saya Pondok Pesantren saat ini adalah lembaga yang paling tepat untuk menyelamatkan akhlak dan moral manusia Indonesia, khususnya generasi muda saat ini. Saya senang luar biasa ketika berkenalan dengan orang tua santri ternyata mereka memiliki pandangan yang sama, padahal banyak diantara mereka memiliki pendidikan Master atau Ph.D dari negeri seberang atau pengusaha yang sukses dilihat dari alamat rumah dan kendaraan yang dipakai berkunjung. Beberapa bulan lalu saya baru berdiskusi dengan seorang ibu yang berprofesi sebagai Dosen UI, seorang Doktor yang pernah mengenyam pendidikan di Amerika. Alhamdulillah kami memiliki pandangan yang sama sehingga beliau juga telah mendaftarkan putrinya untuk masuk ke pesantren dimana anakku menimba ilmu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala tetap menjaga mereka ketika mereka hidup di masyarakat nantinya sehingga mereka tetap istiqomah dan berpegang teguh pada sunnah-sunnah yang diajarkan  

oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم 

Amin ya Rabbal Alamin