Jumat, 22 Juni 2012

“Anna Laka Hadza? (“Ini darimana engkau dapat?”)


 
Luar biasa kebejatan moral orang-orang pajak model Gayus, Dhana dan Tommy dan tentu saja masih banyak rekan-rekan mereka yang tergabung dalam Mafia Pajak. Kelakuan mereka sama dengan saudara-saudara mereka yang bertugas di Bea Cukai yg minggu ini juga telah ditangkap KPK. Itulah sebabnya pidato Ketua MK Bapak Mahfud yang telah menyebut Direktorat Pajak, Bea Cukai dan Pertamina sarang koruptor di amini rakyat Indonesia. Kabarnya Pertamina melalui humasnya akan menuntut beliau. Kalau itu benar tentu seluruh rakyat Indonesia akan berdiri di belakang Pak Mahfud. Kaliber beliau tentu tidak asal ngomong. Ternyata sampai hari ini Pertamina tidak berani membawa ke jalur hukum, dan terbukti mereka kalau berkata "bohong". Ciri-ciri orang munafik menurut sebuah hadis adalah: "Kalau berkata bohong, kalau janji tidak ditepati dan kalau diberi amanah tidak dilaksanakan dengan baik".
Sebagai muslim secara terang-terangan melalui amalan nyata bahwa mereka tidak percaya kebenaran Alquran atau bahkan mereka seperti kebanyakan politisi (hasil survey SSS, DPR lembaga terkorup) bahwa untuk mendapatkan kekuasaan dan uang, maka Tuhanpun dilawan.
Ketika membaca Tafsir Al-Azhar, jilid 2 karangan Buya Hamka (hal 977 dst) tentang penafsiran surat Ali Imran, beliau memberikan contoh bagaimana Khalifah Umar bin al-Khaththab telah menugaskan seorang sahabat untuk memungut zakat. Setelah berhasil memungut zakat maka seluruh hasil pungutan diserahkan ke Baitul Maal disertai dengan laporan yang tertata rapi. Pertanggungjawaban selesai dan tidak ada yang mencurigakan. Namun ditangan sahabat tersebut ada satu barang yang tidak diserahkan, maka sang Khalifahpun bertanya: “Anna laka hadza?” (ini dari mana kau dapat?)
Sahabat tersebut menjawab bahwa barang itu merupakan hadiah seorang pembayar zakat untk dirinya sendiri. Kemudian dengan tegas sang Khalifah memerintahkan untuk menyerahkan barang tsb. Karena kalau dia tidak diutus untuk memungut zakat, maka tidaklah mungkin sahabat tersebut menerima hadiah. Dan dengan ikhlas hadiah tsb diserahkan ke Baitul Maal.
Demikian pula ketika masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis yang juga merupakan keturunan Umar bin al-Kaththab r.a. menurut para ahli sejarah Islam masa itu telah terjadi pula peristiwa dimana pengawas Baitul Maal telah menghadiahkan  sebuah kalung emas untuk puteri Khalifah. Hal dilakukan sang pengawas karena merasa bahwa sang Khalifah terlalu keras menjaga dan mengawasi keluarganya, sehingga tidak ada pungutan kekayaan untuk diri beliau sendiri, atau untuk isteri dan anak-anaknya.
Namun ketika sang Khalifah Umar bin Abdul Azis melihat puterinya memakai kalung tsb sementara beliau merasa tidak pernah memberikan, maka beliau bertanya: “Anna laka hadza?”.
Sang Puteri menjawab bahwa itu adalah hadiah yang pantas diterima. Spontan sang Khalifah minta agar kalung tersebut segera dilepas, sebab barang itu adalah milik kaum Muslimin (milik negara dan rakyat).
Kemudian sang Khalifah membacakan sebuah ayat pada puterinya: “Takutlah kau wahai anakku yang tercinta, bahwa engkau kelak akan datang ke Mahkamah Tuhan dengan barang yang engkau curangi ini dan akan diselidiki dengan seksama” . Maka segeralah kalung tersebut diserahkan kembali ke Baitul Maal.
Sahabat pemungut zakat dan puteri khalifah Umar bin Abdul Azis, mau menerima hadiah tersebut, karena ketidak pahaman mereka, namun setelah mereka diberikan pemahaman yang benar maka dengan tulus dan ikhlas mereka mengembalikan barang-barang tersebut ke Baitul Maal. Ketidak pahaman juga pernah dialami puteri Nabi Muhammad saw, Fatimah ketika nabi wafat juga pernah mendesak Khalifah Abu Bakar untuk membagikan tirkah beliau. Namun permintaan Fatimah tidak mungkin dilaksanakan karena ketika Nabi wafat sama sekali tidak meninggalkan harta. Harta seperlima pampasan perang dijadikan cadangan negara, bukan milik beliau namun milik Negara.  “Untuk Allah dan RasulNya” (Al-Anfal ayat 41)
Memperhatikan sistem pemerintahan Khalifah Umar Kaththab dan Khalifah Umar bin Abdul Azis, buya Hamka menarik kesimpulan bahwa komisi yang diterima para pejabat baik itu menteri maupun pejabat lainnya ketika menandatangi kontrak dengan para pejabat negeri lain, atau kontraktor/suplier di departemennya maka berarti sang pejabat telah melakukan korupsi.
Mungkin dalam ilmu fiqih ada yang menghalalkan itu namun rasa halus agama lebih dalam dari semata-mata fiqih. Jika hanya berdasarkan pertimbangan fiqih, maka dengan mudah dapat dicari pendapat seorang kiyai untuk menjadi pokrol.
“Apakah orang yang mentaati keridhaan Allah, akan serupa dengan orang yang pulang dengan kemurkaan Allah” (pangkal ayat 162).
Pastilah tidak sama, sebab orang-orang yang berjuang untuk meraih ridha Allah, sorgalah tempatnya. Sementara orang-orang yang curang terancam di neraka:
“Dan tempat kembali mereka adalah neraka jahannam, itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (ujung ayat 162).

Orang-orang yang curang ini ibarat kanker ganas. Di dunia mereka dikutuk manusia dan di akhirat neraka tempatnya. 
“Mereka itu (terbagi ke dalam) beberapa derajat di sisi Allah” (pangkal ayat 163).

Bagi yang jujur tingkat keimanan mereka berbeda-beda sementara bagi yang curang kebejatan mereka bertingkat pula. Kemurkaan dan Azab Allah terhadap si curang akan berbeda tergantung berat-ringannya kesalahan mereka.
“Dan Allah memandang apapun yang mereka kerjakan” (ujung ayat 163)
Dengan demikian tidak ada yang mampu disembunyikan oleh manusia dihadapan Allah swt. Orang-orang yang beriman budi pekerti, tutur kata, sopan santunya sama saja baik di depan orang-orang ramai maupun ketika sendirian, namun tidaklah demikian bagi orang-orang munafik sangat santun dan halus tutur katanya ketika di depan orang banyak namun ketika sendirian terbukalah kedoknya yang menutupi kepalsuan mukanya di hadapan Allas swt. Bahkan nyatalah nafsu binatang dan kebejatan moralnya.

“Tidaklah seorang Nabipun berlaku curang” (pangkal ayat 161)
Pada zaman Nabi Musapun kecurangan-kecurangan terhadap hasil pampasan perang terjadi juga, namun dengan “kelebihan-kelebihan” Nabi Musa barang-barang yang disembunyikan kaum Bani Israil yang ikut berperang dapat diketahui.
Terlebih ketika zaman Nabi kita, Muhammad saw, semua barang pampasan perang (ghanimah) dibagikan dengan sangat adil.
“Dan barang siapa yang berlaku curang, maka akan datanglah dia dengan barang yang dicuranginya itu pada hari Kiamat”
Artinya pada hari kiamat kelak akan terbukalah rahasia itu, sebab si curang akan membawa sendiri barang yang dicuranginya, dia tidak akan mampu bersembunyi lagi.
“Kemudian akan dibayar penuh untuk tiap-tiap dari apa yang telah dilakukan” dan setelah ditimbang maka diganjarlah mereka dengan ganjarang yang setimpal: “Sedang mereka tidaklah akan dianiaya” (ujung ayat 161).

Pada zaman keemasan Islam telah digambarkan bagaimana ketika Nabi Muhammad sebagai penguasa negeri yang sangat besar yang kekuasaan meliputi beberapa negeri, tetap hidup sederhana, demikian juga para Khalifah yang termasuk Khulafaur-Rasyidin, maupun masa kekalifahan Umar bin Abdul Azis yang mampu menghilangkan kemiskinan dari negeri yang dipimpinnya. Pada masa beliau tidak ada rakyatnya yang berhak menerima zakat karena rakyat hidup dengan sejahtera.

Masa kini setelah negeri ini merdeka hampir 67 tahun, kesejahteraan hanya dinikmati para pemimpin dan elite negeri ini. Jutaan orang masih hidup dalam kemiskinan dan kebodohan akibat kekayaan negara digarong secara terbuka. Memperhatikan hasil survei SSS bahwa DPR dan Kantor pajak menjadi sarang koruptor diamini oleh seluruh rakyat.
Media masa secara terus menerus memberitakan anggota DPR yang merampok uang negara demikian juga aparat pajak secara konsisten menggarong uang negara. Sebagian besar mereka mengaku muslim, namun perbuatan mereka jauh dari ajaran Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Perbuatan mereka merampok dan menggarong uang negara telah menyengsarakan kehidupan jutaan rakyat Indonesia, sehingga tidaklah salah jika sebagian masyarakat mengelompokkan para perampok uang negara ini meskipun mereka cantik dan tampan tetapi lebih sadis dan bejat daripada para teroris. Asumsi pendapat ini adalah korban para teroris hanya sekelompok kecil masyarakat, namun korban para koruptor adalah jutaan orang.
Dalam kondisi seperti ini sudah sewajarnya jika para pemimpin negeri ini kembali ke ajaran Islam yang murni, melaksanakan secara kaffah dalam memimpin negeri dengan memberi contoh hidup sederhana dan bersikap tegas terhadap para penjarah kekayaan negara seperti yang dicontohkan Khalifah Umar bin Kaththab maupun Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Jika para pemimpin negeri ini justru membiarkan keluarga, handai tolan, sahabat-sahabatnya menjarah kekayaan negara, tunggulah azab yang akan menimpa diakhirat kelak. Tidak akan ada yang mampu membela di Pangadilan Tuhan dan tidak akan ada yang mampu disembunyikan. Dana Century, dana Hambalang, dana BLBI, dana Perguruan Tinggi, Apel Malang dan apel Washington dlsb akan dibawa dan mengalungi leher para koruptor di pengadilan akhirat nanti.
Tidak peduli kepala negara, menteri, jenderal, anggota dewan maupun pengusaha hitam tidak akan mampu mengelak ketika di pengadilan Tuhan nanti ditanya: “ANNA LAKA HADZA?”. Wahai para koruptor tidakkah anda takut pada ancaman Neraka, ketika setitik api neraka di telapak tangan akan mampu mendidihkan otak manusia. Lantas adilkah jika para koruptor hanya menerima setitik api neraka? Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Dr. H. Robert Sudaryono
Pusat Kajian Pengembangan Sumber Daya Insani
Kampus IBII, Jakarta