Luar biasa kebejatan
moral orang-orang pajak model Gayus, Dhana dan Tommy dan tentu saja masih
banyak rekan-rekan mereka yang tergabung dalam Mafia Pajak. Kelakuan mereka sama dengan saudara-saudara mereka yang bertugas di Bea Cukai yg minggu ini juga telah ditangkap KPK. Itulah sebabnya pidato Ketua MK Bapak Mahfud yang telah menyebut Direktorat Pajak, Bea Cukai dan Pertamina sarang koruptor di amini rakyat Indonesia. Kabarnya Pertamina melalui humasnya akan menuntut beliau. Kalau itu benar tentu seluruh rakyat Indonesia akan berdiri di belakang Pak Mahfud. Kaliber beliau tentu tidak asal ngomong. Ternyata sampai hari ini Pertamina tidak berani membawa ke jalur hukum, dan terbukti mereka kalau berkata "bohong". Ciri-ciri orang munafik menurut sebuah hadis adalah: "Kalau berkata bohong, kalau janji tidak ditepati dan kalau diberi amanah tidak dilaksanakan dengan baik".
Sebagai muslim
secara terang-terangan melalui amalan nyata bahwa mereka tidak percaya
kebenaran Alquran atau bahkan mereka seperti kebanyakan politisi (hasil survey
SSS, DPR lembaga terkorup) bahwa untuk mendapatkan kekuasaan dan uang, maka
Tuhanpun dilawan.
Ketika membaca Tafsir
Al-Azhar, jilid 2 karangan Buya Hamka (hal 977 dst) tentang penafsiran surat
Ali Imran, beliau memberikan contoh bagaimana Khalifah Umar bin al-Khaththab
telah menugaskan seorang sahabat untuk memungut zakat. Setelah berhasil
memungut zakat maka seluruh hasil pungutan diserahkan ke Baitul Maal disertai
dengan laporan yang tertata rapi. Pertanggungjawaban selesai dan tidak ada yang
mencurigakan. Namun ditangan sahabat tersebut ada satu barang yang tidak
diserahkan, maka sang Khalifahpun bertanya: “Anna laka hadza?” (ini
dari mana kau dapat?)
Sahabat tersebut
menjawab bahwa barang itu merupakan hadiah seorang pembayar zakat untk dirinya
sendiri. Kemudian dengan tegas sang Khalifah memerintahkan untuk menyerahkan
barang tsb. Karena kalau dia tidak diutus untuk memungut zakat, maka tidaklah
mungkin sahabat tersebut menerima hadiah. Dan dengan ikhlas hadiah tsb
diserahkan ke Baitul Maal.
Demikian pula ketika
masa kekhalifahan Umar bin Abdul Azis yang juga merupakan keturunan Umar bin
al-Kaththab r.a. menurut para ahli sejarah Islam masa itu telah terjadi pula
peristiwa dimana pengawas Baitul Maal telah menghadiahkan sebuah kalung emas untuk puteri Khalifah. Hal
dilakukan sang pengawas karena merasa bahwa sang Khalifah terlalu keras menjaga
dan mengawasi keluarganya, sehingga tidak ada pungutan kekayaan untuk diri
beliau sendiri, atau untuk isteri dan anak-anaknya.
Namun ketika sang
Khalifah Umar bin Abdul Azis melihat puterinya memakai kalung tsb sementara
beliau merasa tidak pernah memberikan, maka beliau bertanya: “Anna laka hadza?”.
Sang Puteri menjawab
bahwa itu adalah hadiah yang pantas diterima. Spontan sang Khalifah minta agar
kalung tersebut segera dilepas, sebab barang itu adalah milik kaum Muslimin
(milik negara dan rakyat).
Kemudian sang Khalifah
membacakan sebuah ayat pada puterinya: “Takutlah
kau wahai anakku yang tercinta, bahwa engkau kelak akan datang ke Mahkamah
Tuhan dengan barang yang engkau curangi ini dan akan diselidiki dengan seksama”
. Maka segeralah kalung tersebut diserahkan kembali ke Baitul Maal.
Sahabat pemungut zakat
dan puteri khalifah Umar bin Abdul Azis, mau menerima hadiah tersebut, karena
ketidak pahaman mereka, namun setelah mereka diberikan pemahaman yang benar
maka dengan tulus dan ikhlas mereka mengembalikan barang-barang tersebut ke
Baitul Maal. Ketidak pahaman juga pernah dialami puteri Nabi Muhammad saw,
Fatimah ketika nabi wafat juga pernah mendesak Khalifah Abu Bakar untuk
membagikan tirkah beliau. Namun permintaan Fatimah tidak mungkin dilaksanakan
karena ketika Nabi wafat sama sekali tidak meninggalkan harta. Harta seperlima
pampasan perang dijadikan cadangan negara, bukan milik beliau namun milik
Negara. “Untuk Allah dan RasulNya” (Al-Anfal ayat 41)
Memperhatikan sistem
pemerintahan Khalifah Umar Kaththab dan Khalifah Umar bin Abdul Azis, buya Hamka
menarik kesimpulan bahwa komisi yang diterima para pejabat baik itu menteri
maupun pejabat lainnya ketika menandatangi kontrak dengan para pejabat negeri
lain, atau kontraktor/suplier di departemennya maka berarti sang pejabat telah
melakukan korupsi.
Mungkin dalam ilmu
fiqih ada yang menghalalkan itu namun rasa halus agama lebih dalam dari
semata-mata fiqih. Jika hanya berdasarkan pertimbangan fiqih, maka dengan mudah
dapat dicari pendapat seorang kiyai untuk menjadi pokrol.
“Apakah orang yang mentaati keridhaan Allah, akan serupa
dengan orang yang pulang dengan kemurkaan Allah” (pangkal ayat 162).
Pastilah tidak sama,
sebab orang-orang yang berjuang untuk meraih ridha Allah, sorgalah tempatnya.
Sementara orang-orang yang curang terancam di neraka:
“Dan tempat kembali mereka adalah neraka jahannam, itulah
seburuk-buruk tempat kembali”. (ujung ayat 162).
Orang-orang yang
curang ini ibarat kanker ganas. Di dunia mereka dikutuk manusia dan di akhirat
neraka tempatnya.
“Mereka itu (terbagi ke dalam) beberapa derajat di sisi
Allah” (pangkal ayat
163).
Bagi yang jujur
tingkat keimanan mereka berbeda-beda sementara bagi yang curang kebejatan
mereka bertingkat pula. Kemurkaan dan Azab Allah terhadap si curang akan
berbeda tergantung berat-ringannya kesalahan mereka.
“Dan Allah memandang apapun yang mereka kerjakan” (ujung ayat 163)
Dengan demikian tidak
ada yang mampu disembunyikan oleh manusia dihadapan Allah swt. Orang-orang yang
beriman budi pekerti, tutur kata, sopan santunya sama saja baik di depan orang-orang
ramai maupun ketika sendirian, namun tidaklah demikian bagi orang-orang munafik
sangat santun dan halus tutur katanya ketika di depan orang banyak namun ketika
sendirian terbukalah kedoknya yang menutupi kepalsuan mukanya di hadapan Allas
swt. Bahkan nyatalah nafsu binatang dan kebejatan moralnya.
“Tidaklah seorang Nabipun berlaku curang” (pangkal ayat 161)
Pada zaman Nabi
Musapun kecurangan-kecurangan terhadap hasil pampasan perang terjadi juga,
namun dengan “kelebihan-kelebihan” Nabi Musa barang-barang yang disembunyikan
kaum Bani Israil yang ikut berperang dapat diketahui.
Terlebih ketika zaman
Nabi kita, Muhammad saw, semua barang pampasan perang (ghanimah) dibagikan
dengan sangat adil.
“Dan barang siapa yang berlaku curang, maka akan datanglah dia
dengan barang yang dicuranginya itu pada hari Kiamat”
Artinya pada hari
kiamat kelak akan terbukalah rahasia itu, sebab si curang akan membawa sendiri
barang yang dicuranginya, dia tidak akan mampu bersembunyi lagi.
“Kemudian akan dibayar penuh untuk tiap-tiap dari apa yang
telah dilakukan” dan
setelah ditimbang maka diganjarlah mereka dengan ganjarang yang setimpal: “Sedang mereka tidaklah akan dianiaya”
(ujung ayat 161).
Pada zaman keemasan
Islam telah digambarkan bagaimana ketika Nabi Muhammad sebagai penguasa negeri
yang sangat besar yang kekuasaan meliputi beberapa negeri, tetap hidup
sederhana, demikian juga para Khalifah yang termasuk Khulafaur-Rasyidin, maupun
masa kekalifahan Umar bin Abdul Azis yang mampu menghilangkan kemiskinan dari
negeri yang dipimpinnya. Pada masa beliau tidak ada rakyatnya yang berhak
menerima zakat karena rakyat hidup dengan sejahtera.
Masa kini setelah
negeri ini merdeka hampir 67 tahun, kesejahteraan hanya dinikmati para pemimpin
dan elite negeri ini. Jutaan orang masih hidup dalam kemiskinan dan kebodohan
akibat kekayaan negara digarong secara terbuka. Memperhatikan hasil survei SSS
bahwa DPR dan Kantor pajak menjadi sarang koruptor diamini oleh seluruh rakyat.
Media masa secara
terus menerus memberitakan anggota DPR yang merampok uang negara demikian juga
aparat pajak secara konsisten menggarong uang negara. Sebagian besar mereka
mengaku muslim, namun perbuatan mereka jauh dari ajaran Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Perbuatan mereka
merampok dan menggarong uang negara telah menyengsarakan kehidupan jutaan
rakyat Indonesia, sehingga tidaklah salah jika sebagian masyarakat
mengelompokkan para perampok uang negara ini meskipun mereka cantik dan tampan
tetapi lebih sadis dan bejat daripada para teroris. Asumsi pendapat ini adalah
korban para teroris hanya sekelompok kecil masyarakat, namun korban para
koruptor adalah jutaan orang.
Dalam kondisi seperti
ini sudah sewajarnya jika para pemimpin negeri ini kembali ke ajaran Islam yang
murni, melaksanakan secara kaffah dalam memimpin negeri dengan memberi contoh
hidup sederhana dan bersikap tegas terhadap para penjarah kekayaan negara
seperti yang dicontohkan Khalifah Umar bin Kaththab maupun Khalifah Umar bin
Abdul Azis.
Jika para pemimpin
negeri ini justru membiarkan keluarga, handai tolan, sahabat-sahabatnya
menjarah kekayaan negara, tunggulah azab yang akan menimpa diakhirat kelak.
Tidak akan ada yang mampu membela di Pangadilan Tuhan dan tidak akan ada yang
mampu disembunyikan. Dana Century, dana Hambalang, dana BLBI, dana Perguruan
Tinggi, Apel Malang dan apel Washington dlsb akan dibawa dan mengalungi leher para
koruptor di pengadilan akhirat nanti.
Tidak peduli kepala
negara, menteri, jenderal, anggota dewan maupun pengusaha hitam tidak akan
mampu mengelak ketika di pengadilan Tuhan nanti ditanya: “ANNA LAKA HADZA?”. Wahai para koruptor tidakkah anda takut pada
ancaman Neraka, ketika setitik api neraka di telapak tangan akan mampu
mendidihkan otak manusia. Lantas adilkah jika para koruptor hanya menerima
setitik api neraka? Wallahu a’lam bi
ash-shawab.
Dr. H. Robert Sudaryono
Pusat Kajian Pengembangan Sumber Daya Insani
Kampus IBII, Jakarta